02. Bunga Terakhir

11 4 0
                                    

    Aku mengikuti pelajaran dikelas dengan tenang dan penuh semangat hari itu. Padahal hari ini merupakan hari senin, yang konon katanya merupakan hari sial di kalender. Tapi entah mengapa hari itu di sekolah terasa sangat lancar.

kringg kringg

     "Selamat siang bapak dan ibu guru, kami akan melakukan doa pulang, sebelumnya silahkan bersih-bersih kelas terlebih dahulu", suara dari sentral sekolah.

     "Fer, kamu nanti pulang naik bis kan?", tanya Tata.

     Tata merupakan teman ku sejak SMP juga, tetapi kita berbeda kelas saat SMP. Tetapi dipertemukan lagi di SMA dan satu kelas. Aku dan Tata kerap membagi cerita tentang masalah kita atau apapun yang terjadi dalam kehidupan kita. Aku dan Tata sering mencari makanan enak ataupun spot foto terbaik di Surakarta. Ohh.. ya Tata merupakan anggota OSIS aktif di sekolah.

     "Iya Ta, nanti aku naik bis, mau bareng kah??", jawab ku.
     "Asikk boleh deh", dengan senang Tata merapikan meja nya.

     Kami berjalan dengan bernyanyi dan menghabiskan suara kami untuk bercerita apapun yang bisa diceritakan. Aku dan Tata merupakan teman yang satu frekuensi, kami sangat memahami dan saling menyemangati satu sama lain.

     Kami menunggu di halte bis sekolah, sembari berfoto bersama. Saat bis datang kami menaiki bersama dan juga melakukan kegiatan yang kebanyakan dilakukan oleh perempuan, iya ber gosip. Hahahaa ternyata dalam lingkup sekolah yang sekecil itu, sudah banyak berita yang kami dapatkan.

    "Byeebyee Ferraaa, hatii-hatii yaaa"
    "Byebyeee Tataaa, kamu jugaa hatii-hatii"

     Kami berpisah, karna halte pemberhentian kita berbeda.

☆☆☆

     Aku turun di pemberhentian halte ku, lalu melangkah pulang. Halte dan rumah ku cukup jauh. Aku tiap hari naik bis karna mama dan papa tidak bisa menjemput ku karna sibuk.

     Baru memasuki gang rumah ku yang sempit, aku melihat bendera tertancap di depan gang tersebut, Bendera merah yang ada di depan gang ku.
Langkah ku berhenti, nafas ku tertahan.

     "Siapa yang meninggal?", tanya ku dalam hati

     Aku mempercepat langkah ku, menemukan segerombolan warga memenuhi isi rumah ku.

     "Siapa?, Siapa?, Siapa yang meninggal?", teriakan dalam hati ku yang bergema membuatku gemetar

     Aku memasuki rumah beriringi tangisan sesak Nenek ku. Aku menemukan Kakek Andreas ku sudah tidak ada. Ia berbaring di kasur nya, dan kain menutupi seluruh tubuhnya. Aku mulai berdoa disampingnya. Tanpa sadar air mata mengalir di wajah ku.

     "Tuhan kenapa harus sekarang, kenapa disaat aku belum membahagiakannya kau memanggilnya, Tuhan Ferra masih banyak dosa sama kakek, Tuhan jaga kakek Ferra disana, kalau memang ini yang terbaik menurut kehendak mu, agar Kakek Ferra ga sakit lagi, terima dia disisi-Mu, ampuni segala dosa dia dan bahagiakan dia diatas", doa yang aku lirihkan disamping kakek Andreas membuatku menangis.
 
     Aku dan kakak ku kurang mendapatkan perhatian dari mama dan papa. Kakek Andreas dan Nenek Lusiana merupakan kakek dan nenek yang terbaik. Mereka merawat cucu nya ini dengan penuh kasih sayang. Aku dan kakak ku masih SD, Kakek setiap hari akan menjemput kami dengan semangat, tidak peduli hujan atau panas.

     Mereka adalah kakek dan nenek dari ayah ku. Bahkan sampai di akhir hayat nya kakek ku sendiri aku belum bisa membalas kebaikan-kebaikan nya.

☆☆☆

     Kami sekeluarga memakamkan kakek di tiong ting. Bangunan megah bercorak putih dan sedikit hiasan berwarna merah. Bangunan megah itu memiliki banyak tempat peristirahatan, pintu besar berderetan berjumlah sepuluh di bangunan itu. Setiap pintu besar tersebut berisi peti mati dibelakang ruangan dan ruangan untuk mengadakan misa. Kursi sudah tertata rapi disebelah peti mati tersebut.

     Kami disana selama 3 hari, dan di hari terakhir kami mengadakan doa bersama. Sekeluarga memutuskan akan melarung abu kakek kami.

     Selama 3 hari tersebut, banyak orang silir berganti yang datang. Banyak yang menyayangi kakek ku. Banyak yang mendoakan dia. Sungguh aku bersyukur akan itu.

     Aku tidak berangkat sekolah selama 3 hari itu, bahkan Andra tidak menanyakan apa-apa ke aku. Dia hanya memberikan teks berbela sungkawa kepada ku.

☆☆☆

     Pemakaman itu pun berlangsung dengan lancar. Entah kenapa perasaan ku malah bercampur aduk, aku seperti orang yang tidak berguna sebagai seorang cucu, kenapa aku selalu acuh kepada kakek ku sendiri kenapa?

     Pemakaman itu mengumpulkan keluarga kami yang semulanya saling berpisah. Tetapi entah kenapa tak satupun dari mereka yang meneteskan air matanya, dan hanya berbela sungkawa. Apakah hanya aku yang merasakan hal itu? Mereka memang mengenakan baju putih, mereka memang memberikan salam kepada keluarga kami dan mendoakan kakek. Tapi seolah-olah suara berdesir di kepala ku dan berkata "mereka semua sudah tau bahwa ini sudah waktunya"

     Memang kakek ku sudah berusia 80 tahun, bukan hal yang mengejutkan dia sudah tiada. Tapi mengapa secepat ini.

☆☆☆

      Aku kembali melanjutkan hidup ku, bersekolah menjalankan tugas ku selayaknya seorang pelajar. Dengan motor tua Papa mengantar ku, memberikan sapaan terbaiknya untuk mengantar ku ke sekolah.
     Lorong demi lorong kelas ku lewati. "sibuknya" lirih kecil ku. Tiba lah aku di depan kelas ku, menompang tas seberat batu dipunggung ku. Pintu terbuka, kursi yang sudah penuh itu membuat ku terpaksa duduk di depan paling pojok kelas dekat pintu.
     Pikirku tempat duduk ini sesuai untuk diri ku yang sudah menjalani hari buruk.

     "Hai Ferr, ada tugas bahasa inggris loh jangan lupa yaa di jam terakhir", sapaan kecil Vasty

     Vasty merupakan teman ku dan Tata. Kami bertiga menjadi teman karna kita sangat cocok satu sama lain. Sebenarnya kami memiliki sebuah "geng". Lebih tepatnya sering kumpul di kantin waktu pulang sekolah aja sih. Kami ada ber tujuh, 4 laki-laki dan 3 perempuan. Iya tiga perempuan itu Aku ( Ferra ), Tata dan Vasty. Lalu 4 laki-laki merupakan Rafael, Gabriel, Jona, dan Joseph.

     Hari itu pikirku ada seseorang yang berusaha menguatkan ku, tapi ternyata disaat kakek ku tiada pun orang-orang tetap melanjutkan hidupnya masing-masing.
     "Ferra, kemarin yang meninggal siapa", pertanyaan terlontar kepadaku dari Bu Ina, yang sedari tadi memperhatikan ku.
     Bu Ina merupakan guru bahasa Geografi di sekolahku, sekaligus wali kelas ku saat kelas 10 SMA ini.
     "Kakek saya bu", sembari menyerahkan surat ijin ku.
     "Turut berdukacita ya Ferr, kalau boleh tau kakek sakit atau gimana?", tanya Bu Ina dengan mengambil surat ijin ku.
     "Iya kakek udah lama sakit", jawab ku.

     Pertanyaan itu terhenti seketika, karna Gabriel memanggil Bu Ina.

☆☆☆

    Kelas berakhir, aku pulang sendirian karna Tata menghadiri rapat osis. Menaiki bis sepanjang jalan Surakarta, dengan mendengarkan Dewa 91 merupakan vokalis kesukaan ku dan Andra. Merupakan suatu kenyamanan yang tidak bisa diulang lagi.
     Sesampainya dirumah, aku melihat nenek Lusiana, hanya menonton TV sendirian. Hati ku tergores, melihat dia hanya sendirian tanpa kakek Andreas lagi disebelahnya. Aku membelikan jus jambu kesukaannya.
     "Udah makan Ferr?", tanya nya sembari meminum jus jambu dari ku.
     "Udah nek", jawabku manis
     "Tadi dekolektor kesini Fer, tolong bilang mama papa ya", tegas nenek Lusiana.
      "Iya nek, nanti aku omongin", aku meyakinkan dia agar tidak perlu mengkhawatirkannya.

For FerraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang