8

260 42 2
                                    

Lingling dan Orm tiba disebuah kota kecil di pinggir pantai setelah perjalanan yang panjang. Kota itu sepi, hanya dihuni beberapa ratus orang, tempat yang ideal untuk menghilang. Mereka menyewa sebuah apartemen kecil di lantai dua bangunan tua, cukup jauh dari perhatian.

Orm duduk di tepi jendela, menatap ombak yang memecah di kejauhan. Udara laut segar menghembuskan rambutnya yang tergerai, sementara Lingling mengatur tas dan perlengkapan di dalam apartemen.

"Kamu tau, kota ini terlihat damai." kata Orm, mencoba menemukan rasa tenang yang jarang ia rasakan.

"Damai, tapi sementara." jawab Lingling, tanpa menoleh. Dia sedang memeriksa senjata-senjata kecil yang disembunyikan di balik tas.

Orm menghela napas, lalu berjalan mendekat. Dia berdiri di belakang Lingling dan memeluknya dari belakang. "Kamu tidak bisa hidup selamanya dengan cara seperti ini, Ling. Selalu waspada, selalu siap untuk bertarung."

Lingling berhenti. Untuk pertama kalinya, dia mengangkat wajahnya, dan membalikkan tubuhnya, menatap Orm dengan tatapan yang penuh dengan rasa bersalah. "Aku tidak tahu cara lain untuk hidup, Orm. Ini... satu-satunya hal yang aku tahu."

Orm menggeleng, dia menggenggam tangan Lingling, hangat dan lembut, berlawanan dengan dinginnya senjata di meja. "Aku ingin kamu mencoba. Bukan hanya untukku, tapi untukmu juga."

Lingling terdiam, tetapi sentuhan Orm perlahan-lahan mencairkan dinding di hatinya. Dalam hati kecilnya, dia tahu Orm benar.













Hari-hari berlalu, dan mereka mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka. Orm bekerja di sebuah toko bunga kecil di sudut kota, sementara Lingling menjaga jarak, mengamati dari jauh dan mencoba tetap tersembunyi.

Namun, bayangan dari masa lalu mereka kembali menghantui. Suatu malam, Lingling pulang dari pasar kecil dan menemukan selembar kertas terselip di bawah pintu apartemen mereka.

Pesan itu hanya berisi satu kata: "Ketemu."

Lingling segera merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Dia merobek kertas itu dan membuangnya sebelum Orm bisa melihat. Namun, saat makan malam, kecemasannya tidak bisa disembunyikan.

"Kamu terlihat tegang," kata Orm sambil menyeruput sup yang dia masak.

"Tidak, aku hanya lelah." Lingling berbohong, tetapi dia tahu Orm tidak mudah tertipu.

Setelah makan malam, Orm menarik Lingling ke balkon. Angin laut berhembus lembut, dan Orm berdiri memandangi bintang-bintang sebelum berbalik menatap Lingling.

"Apa pun itu, kamu bisa memberitahuku," kata Orm pelan.

Lingling menundukkan kepala, lalu akhirnya menghela napas panjang. "Mereka tahu kita di sini."

Wajah Orm berubah, tetapi dia tidak menunjukkan ketakutan. Sebaliknya, dia menggenggam tangan Lingling erat. "Kalau begitu, kita hadapi mereka. Bersama-sama."

"Orm, ini bukan pertarungan yang bisa kamu menangkan," kata Lingling.

"Tapi aku tidak akan pernah membiarkanmu melawan sendirian lagi," jawab Orm dengan tegas.

Malam itu, mereka memutuskan untuk berhenti berlari. Lingling mulai menyusun rencana untuk melawan balik, sementara Orm menyiapkan dirinya untuk apa pun yang akan datang.














Dua malam kemudian, seseorang datang mengetuk pintu apartemen mereka. Lingling, yang sudah bersiap dengan pisau di balik punggungnya, membuka pintu perlahan. Seorang Wanita berdiri di sana, wajahnya penuh luka dan bekas pertempuran.

"Kita perlu bicara." katanya, suaranya serak.

Lingling menggeram. "Kenapa aku harus percaya padamu?"

Wanita itu mengangkat kedua tangannya. "Karena aku ingin mereka hancur sama seperti kamu."

Lingling menatap Wanita itu lama, mencoba membaca niatnya. Akhirnya, dia membiarkannya masuk, tetapi tetap menjaga jarak. Orm berdiri di sudut, waspada namun diam.

Wanit itu memperkenalkan dirinya sebagai Ying, seorang mantan anggota kelompok yang pernah bekerja dengan Lingling. Dia mengaku telah berbalik melawan mereka setelah kelompok itu membunuh keluarganya.

"Mereka tidak akan berhenti sampai kalian mati," katanya. "Tapi aku tau kelemahan mereka."

Lingling mendengar penjelasannya dengan hati-hati. Meski instingnya mengatakan untuk tidak percaya, dia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan untuk melawan balik.

Ketika Ying pergi, Orm mendekat, menggenggam tangan Lingling. "Apa pun yang kamu putuskan, aku di sini untukmu."

Lingling menatap Orm, hatinya terasa berat. Dia tahu keputusan ini bisa membahayakan mereka berdua, tetapi untuk pertama kalinya, dia merasa ada harapan.

"Kita akan melawan," kata Lingling akhirnya. "Dan kita akan menang."

Bersambung...

Bayang-Bayang Dibalik Cinta S1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang