Episode 3 : Biru

16 1 1
                                    


Satu tahun yang lalu.

Tampak seorang perempuan surai biru gelap tengah mengerjakan soal ujian pertama. Seperti biasa di SMA Hanabata, tidak ada guru atau siapapun diperlukan untuk mengawasi ruang kelas pada saat ujian berlangsung. Seorang surai biru itu dikenal karena kepintarannya yang benar-benar di atas rata-rata siswi normal pada umumnya. Hampir semua mata pelajaran mampu ia selesaikan dengan baik dan menuai nilai sempurna, seratus.

Kecuali satu hal, linguistik. Apalagi Bahasa Inggris.

"Ugh..."

Si surai biru itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kebingungan. Hal yang wajar dialami oleh setiap pelajar ketika menemukan pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Tapi jika rasa kebingungan itu terjadi untuk seorang yang jenius nya minta ampun, bisa diartikan sebagai sebuah malapetaka bagi sebagian orang. Jika seorang jenius tidak mampu menjawab satu pertanyaan spesifik, bagaimana dengan yang lainnya? Atau setidaknya begitu isi pikiran orang kebanyakan.

Bicara tentang ujian, tidak ada satupun lembaran kertas ataupun alat tulis di masing-masing meja mereka. Meja itu sendiri sudah beralih fungsi bak komputer dengan layar sentuh. Dilengkapi dengan beberapa slot USB dengan jenisnya masing-masing mulai dari 3.0 sampai yang C disediakan dan headphone jack 3.5 milimeter yang bisa digunakan khususnya di sesi di mana siswi harus "mendengarkan" pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab melalui headphone atau earphone kegemaran mereka. Bisa dibayangkan berapa besar daya listrik yang terpakai hanya untuk satu ruang kelas saja. Belum lagi jika dikalikan dengan jumlah ruang kelas secara keseluruhan termasuk ruangan lain. Maka dengan begini, sekalipun tanpa pengawas ujian akan kecil kemungkinan seseorang untuk mencontek jawaban orang lain. Dan karena alasan itu pulalah, meja tersebut tidak memiliki semacam laci untuk menaruh barang di bawahnya karena sudah terisi dengan mesin komputer.

Di hadapan meja surai biru itu ada satu buah pertanyaan yang membuatnya cukup pusing.

"The weather is so bad. It rain cats and dogs here and there."

What does "cats and dogs" mean?

Idiom, atau istilah kerennya "perumpamaan".

Perumpamaan acapkali menjadi momok menakutkan di ujian linguistik untuk kebanyakan pelajar. Kata yang dibaca bukanlah kata yang bisa diartikan secara mentah-mentah. Menggunakan kata benda sebagai kata ganti sebuah keadaan di satu waktu, jika tidak berhati-hati menerjemahkannya maka persepsi akan melenceng jauh dari aslinya. Tidak terkecuali untuk seorang jenius seperti surai biru ini, ia sama sekali tidak menyukainya. Terlalu rumit untuk sebuah kalimat, apalagi jika itu tercetak dalam bahasa asing.

"Bagaimana aku harus menjawab ini? Menyebalkan."

Si surai biru itu sudah pasrah jika nilai ujian linguistik nya anjlok. Ia bahkan sudah memperhitungkan berapa banyak soal yang harus ia jawab dengan benar. Minimal, jangan sampai di bawah ketentuan. Tapi jika satu soal ini ia salah menjawab maka habislah dia. Akan ada satu nilai merah muncul di hasil ujiannya nanti. Dan ia tentu saja tidak mau itu terjadi.

"Aahh! Ini sungguh membuatku kesal!" Si surai biru itu menjambak rambutnya sendiri dengan rasa kesal. Bukan karena satu buah pertanyaan bahasa asing yang tidak bisa ia mengerti, tapi ia berjudi dengan "nilai merah" yang mati-matian ia coba hindari di mata ujian yang ia tak sukai. "Persetan dengan nilai merah! Putar lagu saja! Eh?"

Saat ia hendak mengambil earphone dari tas miliknya, pandangan matanya tertuju ke seorang gadis surai hitam berkacamata yang juga menatapnya sambil menunjukkan kertas kecil yang dijepit dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Di kertas itu tertulis sesuatu.

Kisah Klasik Keseharian KoikatsuWhere stories live. Discover now