CHAPTER 19

433 59 33
                                    

Cahaya matahari pagi yang mulai condong ke barat menyusup melalui jendela besar lobi rumah sakit, memberi sedikit kehangatan pada ruangan yang dingin dan sunyi. Namun, suasana di antara keluarga Griffin jauh dari hangat. Devan berdiri dengan tangan menyilang di dada, rahangnya mengeras, sementara Yoona duduk gelisah di kursi tunggu, menatap kosong ke lantai.

Pintu utama rumah sakit terbuka, menampilkan Jevano yang berjalan perlahan bersama Haekal. Tubuhnya kaku, tatapannya kosong, seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah. Langkahnya terhenti begitu melihat Devan melangkah maju dengan wajah penuh amarah.

“Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan, Jevano?!” suara Devan menggema di ruangan, langsung memecah keheningan. “Apa kamu sadar kalau tindakanmu itu bisa membuat Nathan kehilangan nyawanya?! Apa kamu sudah gila?!”

Jevano tersentak, tubuhnya gemetar mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Ia mencoba membuka mulut untuk berbicara, tapi suara itu seolah tersangkut di tenggorokan.

“Papa, aku gak—”

“Jangan panggil saya Papa kalau kamu gak bisa menghormati saya sebagai ayahmu!” bentak Devan, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. “Nathan itu abang kamu, sahabat kamu! Dan sekarang dia terbaring di ruang operasi karena kamu! Kamu tahu gimana rasanya melihat Mama menangis karena perbuatanmu?! Papa malu Vano! Mau taruh dimana lagi muka Papa?!”

Yoona yang duduk di belakang Devan mengangkat wajahnya, menatap Jevano dengan mata penuh kecemasan. Namun, ia tetap diam, seolah tidak tahu harus berbuat apa. Tangannya meremas ujung bajunya dengan gugup.

Ketika emosi Devan semakin memuncak, Yoona akhirnya bangkit berdiri. “Mas, cukup,” katanya dengan nada tegas namun lembut. “Nathan masih di ruang operasi. Ini bukan saat yang tepat untuk menyalahkan siapa pun. Kita harus bersabar.”

“Sabar?!” Devan menoleh ke arah istrinya, sorot matanya masih penuh kemarahan. “Kamu tahu apa yang sudah dia lakukan, Yoona?! Kamu lihat sendiri keadaan Nathan sekarang, dan kamu masih minta aku untuk bersabar?!”

Yoona menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum kembali berbicara. “Aku tahu, Mas. Tapi teriak ataupun bentak-bentak Vano kaya gini gak akan merubah apapun. Kita tunggu sampai Nathan keluar dari ruang operasi, baru kita bicarakan ini dengan kepala dingin.”

Devan mendengus frustrasi, melangkah mundur sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Namun, ketegangan tidak berhenti di situ. Marka, yang berdiri di belakang Devan sejak awal, tiba-tiba maju dengan ekspresi dingin.

“Lo tahu gak, Van?” Marka berbicara dengan nada rendah, tapi tajam. “Gue selalu tau lo egois. Tapi gue gak pernah nyangka lo bisa sampai tega kayak gini. Lo hampir bunuh Nathan, Van. Apa lo sadar itu?”

Kata-kata Marka seperti cambukan keras bagi Jevano. Ia menundukkan kepalanya semakin dalam, tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.

“Gue gak sengaja…” suaranya terdengar pelan, nyaris seperti bisikan.

Marka mendengus. “Oh, gak sengaja? Itu alasan lo? Lo pikir itu cukup buat memperbaiki keadaan Nathan sekarang? Lo tau gak, Van? Dunia ini nggak selalu tentang lo.”

Yoona mengangkat tangan, mencoba menenangkan Marka. “Marka, sudah,” katanya lembut, tapi tegas.

Namun, Marka tidak peduli. “Dia harus dengar, Ma. Selama ini kita terlalu banyak memaklumi dia, dan lihat apa yang dia lakukan sekarang. Hari ini aku mulai nyesal karena udah selalu berusaha untuk memaklumi semua kelakuan dia.”

Jevano menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang membanjiri hatinya. Matanya merah, tapi ia menolak membiarkan air matanya jatuh.

"Maaf…" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.

Mistakes In The Past || ComplateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang