13

5 1 0
                                    

Sudah satu minggu lamanya semenjak mamanya dipanggil Sang Pencipta. Kini, Putri dalam perjalanan pergi ke pesantren bersama Dirga. Bukan, kali ini dia tidak berniat kembali menuntut ilmu di pesantren. Tetapi, dia datang ke sana berniat untuk mengambil barang-barang miliknya dan berpamitan kepada umi dan abi.

"Lo yakin sama keputusan kali ini?" tanya Dirga melirik Putri dari kaca spion dalam mobil.

Putri menatap malas. "Yaelah lu bang. Gak capek apa lu nanya begituan terus? Kan gua udah bilang kalo gua yakin." tidak. Di lubuk hati terdalamnya sebenarnya ia tak setuju dengan keputusan yang diambilnya. Walaupun begitu, mau tidak mau dirinya harus mengambil keputusannya. Berat rasanya mengambil keputusan saat ini. Namun, ia sudah bertekad agar tidak menyusahkan orang lain lagi.

"Kalo nih ya, kalo. Gua lagi ngehayal aja. Kalo misalnya lo ada tawaran pesantren di sana secara gratis, tapi lo harus bantu umi sama abi kayak masak atau beresin keperluannya mereka gimana?"

"Yaelah bang, mana ada tawaran begituan? Mereka juga mikir kali kalo nampung gua bisa bikin bangkrut." jawabnya tertawa sumbang. "Lagian, kalo emang ada program spesial anak yatim atau piatu, gua bakalan kagak dapet. Soalnya umi juga dah tau kalo gua bukan anak kandungnya mama Nia."

"Ah elah lo mah, tinggal jawab pertanyaan gua aja malah meleber kemana-mana." ucap Dirga dengan nada kecewa.

"Ya lagian lu nanya nya yang kagak masuk diakal, kocak."

"Gini loh Put, kagak jauh-jauh dah. Emang lo kagak pertimbangin tawaran nyokap sama bokap gua gitu? Lo kagak usah mikir kalo nyokap bokap gua bakalan bangkrut kalo nampung lo. Soalnya kan gua anak satu-satunya tuh, terus gua juga udah bisa kerja."

Putri hanya tertawa hambar. Bukan itu maksudnya. Sebenarnya ia hanya tidak ingin orang-orang yang membantunya terkena imbas karena dirinya. Tanpa sepengetahuan mereka, dalam waktu satu minggu hampir setiap hari ia menerima teror yang entah dari siapa. Di setiap teror yang dikirim kepadanya, pasti ada tulisan '#R' di ujung.

"Ngomong-ngomong, lu ada kenalan orang yang nama awalnya ada huruf R nggak bang?"

Dirga bergumam mengingat-ingat. "Banyak si sebenernya, cuma gua kagak deket aja sama orangnya. Emangnya kenapa dah?"

Putri menggeleng. "Kagak, cuma nanya aja."

"Jangan-jangan lo diteror lagi."

Netranya yang semula memandangi jalanan yang ramai oleh kendaraan, kini bola matanya bergulir ke sana kemari mencari jawaban. "E-enggak. Kok lu bisa ada kepikiran kek gitu si?" tanya nya yang diakhiri tawa palsu untuk menetralkan perasaannya.

"Jujur sama gua Putri."

Intonasi nada tegas dari Dirga membuat hatinya dagdigdug tak karuan. Dirinya takut karena tak biasanya Dirga berprilaku tegas seperti itu. Tak sadar, air matanya lolos begitu saja. "Nada ngomongnya jangan gitu lah bang, gua takut."

Dirga memelankan laju mobilnya karena rambu lalu lintas berwarna merah. "Gitu doang nangis, cengeng lu." ucapnya dengan memberikan sekotak tisu kepada Putri yang diterima oleh sang empu.

"Gua juga manusia biasa kali." protes Putri.

"Emang yang bilang kalo lo manusia super siapa?"

Putri berdecak kesal. "Diem ah, jangan ngomong dulu!" ucapnya dengan menelungkupkan kepalanya di lipatan tangannya yang bertumpu di atas lutut.

Dirga kembali menancapkan gas ketika melihat warna rambu lalu lintas kembali berubah menjadi warna hijau. "Tapi gua serius Put. Lo habis kena teror kan?"

"Lu kenapa bisa kepikiran kalo gua diteror si?!" tanya Putri berusaha pura-pura tak tahu apa-apa.

"Jangan mengalihkan pembicaraan."

Who Am I? (𝐎𝐍 𝐆𝐎𝐈𝐍𝐆)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang