"Lana... kita lunchy - lunchy cantik, yuk. Gue sama Audi udah janjian di Marutama PI."
Lana mendesah seraya menatap worksheet di hadapannya. Menjelang akhir tahun, kesibukannya bertambah berkali - kali lipat. Tak jarang ia terpaksa menginap di kantor demi menyelesaikan pekerjaan yang tampaknya tak pernah kunjung habis meskipun tubuhnya sudah legrek.
"Gue masih banyak kerjaan, Kay. Tumben si Yosi ngizinin elo lunch di luar."
Kaia bersandar pada kursinya seraya menatap kuku - kuku jarinya yang baru saja dipoles dengan cat kuku warna merah gelap. "Tiba - tiba bininya datang bawain makan siang, jadi gue free siang ini."
"Istri muda atau istri tua?" Lana tertawa pelan diujung telepon.
"Bini muda lah. Mana mungkin dia betah di kantor kalau bini tuanya yang datang. Eh, sebentar..."
Lana kembali memerhatikan layar komputernya sementara Kaia menggantung teleponnya. Terdengar kasak - kusuk di seberang sana. Nampaknya, sang nyonya muda tengah mengajak Kaia untuk makan siang bersama di dalam ruangan bosnya. Lana tertawa kecil. Sudah jelas Kaia akan menolak. Berkali - kali Kaia bercerita, kedatangan istri muda Yosi bukanlah hal yang baik. Kaia bahkan lebih senang dijadikan mata - mata oleh istri tua bosnya ketimbang menghadapi sikap istri muda Yosi yang kadang sering menyiratkan rasa cemburu padanya.
Kalau sampai si botak berani ngajak gue kawin, siap - siap aja rahasia besarnya terbongkar. Itu pun kalau dia siap ditendang dari perusahaan...
begitu tandas Kaia setiap kali para sahabatnya mencurigai gelagat bosnya yang kadang kelewat batas terhadap sekretarisnya.
"Halo, Lan? Jadi, elo ikut nggak lunch sama kita?"
Lana tersadar dari lamunannya. "Gue... lagi diet, Kay..."
"Diet melulu lo, Lan. Elo itu nggak gendut. Kita nggak gendut, Alana," sengaja Kaia menekankan kata 'gendut' pada kalimatnya, "Justru body kayak kita itu seksi. Idaman para lelaki."
Tak kuasa tawa Lana lepas mendengar pemilihan kata yang digunakan Kaia. Kaia benar, bentuk tubuhnya memang seksi. Idaman para lelaki, itu fakta, dilihat dari cara lelaki memandang gadis itu. Tapi Lana sangsi hal yang sama juga berlaku baginya. Ketimbang seksi, Lana lebih memilih kata 'gempal' untuk mendeskripsikan bentuk tubuhnya.
"Lagipula, Lana, sekali - kali elo harus keluar dari kantor lo yang udah kayak penjara itu. Kapan elo mau dapat pasangan kalau kerjaan elo ngeram di kantor terus? Lama - lama bertelor juga lo, Lan."
Lagi - lagi, Kaia benar. Sudah terlalu lama Lana mengurung dirinya dalam gedung bertingkat dengan suasana kental gila kerja. Hingga terkadang ia lupa bahwa ia juga memiliki kehidupan sosial. Kalau bukan teman - temannya ataupun keluarganya yang mengingatkan, mungkin Lana tidak akan pernah keluar dari gedung itu.
Lana tersenyum masam kemudian melirik jam di komputernya. Jam setengah dua belas siang. Jarak kantornya pun tak terlalu jauh dari lokasi restoran yang ditentukan kedua sahabatnya. Hanya butuh waktu sepuluh menit dengan jalan kaki. Mungkin ia bisa melanjutkan pekerjaannya selama beberapa menit ke depan.
"Oke. Gue ikut."
"That's my gal. See you at 12, Alana."
****
"Coba elo perhatiin cowok yang duduk di meja pojok sana."
Mata Lana menyipit. Pandangannya terarah pada seorang lelaki dengan kemeja biru vertikal yang duduk di pojok restoran. Wajah lelaki itu cukup manis dengan bewok tipis menghiasi rahangnya. Sesekali pandangan lelaki itu berputar. Entah mungkin mencari temannya atau mungkin mencari pelayan untuk dipanggil. Lengan kemeja lelaki itu digulung hingga ke siku. Memperlihatkan tato huruf kanji kecil di bagian dalam lengannya. Ketika pandangan mereka bertemu, Lana bergidik ngeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Diterbitkan] The Bridesmaids Tale
Roman d'amourFollow instagramku: @falamalina untuk informasi buku-buku yang diterbitkan . Terima kasih. **** Alana, Audi, Kaia, Nadine, dan Adel bersahabat sejak mereka duduk di bangku SMA. Lima sahabat dengan karakter yang berbeda. Lana yang kelewat konservati...