Laugh or Tears
Sorot mata itu memancarkan kegugupan. Keningnya berkerut. Berkali-kali dia menggigit bibir bawahnya. Kakinya gemetar, tangannya dingin kaku terasa. Jantungnya berdetak cepat sekali, hampir saja lompat keluar dari rongga dadanya. Pipinya yang lembut itu dipenuhi keringat, tapi itu keringat dingin. Entah sudah berapa kali dia berjalan kesana-kemari kesana-kemari. Dia tampak cemas. Gundah. Dan gugup. Amat gugup. Dia kelihatan takut sekali, meskipun dia mencoba menutupi perasaan takutnya itu.
"Tenang, Ik" tangan itu merengkuh bahunya, membuatnya kaget setengah mati.
"Kamu nggak usah gugup ya. Kita pasti lulus" katanya mantap. Gadis itu menatap kesampingnya, kearah orang yang merengkuh bahunya itu. Terdapat bocah laki-laki yang sangat manis sedang tersenyum kepadanya disana. Cowok dengan potongan rambut mangkok, dan poni yang juga seperti mangkok, yang membuat pipinya kelihatan meyembul seperti kue bakpao. Cowok itu tengah merangkul gadis itu dengan tangan kanannya, tersenyum memberikan semangat pada gadis itu.
Gadis itu menghela nafas, ada perasaan lega ketika dia melihat cowok itu. Tapi ada perasaan yang pahit dan ngilu juga yang dirasakannya. Dia berusaha menutupi perasaan itu. Menutupnya dengan seuntai senyum dibibirnya.
"Aku nggak apa-apa kok, Al," katanya lembut. "Oya, Al. Ntar kamu mau masuk SMP mana?" gadis itu menuntun tangan cowok itu kebangku panjang yang menghadap ke lapangan upacara. Cowok itu terlihat kebingungan, lalu tersipu-sipu dia menggaruk kepalanya.
"Dimana aja deh. Asal bisa bareng kamu" katanya malu-malu. Gadis itu terkikik mendengarnya. Perasaan lucu sekaligus senang bersarang dalam hatinya sekarang. Tapi perasaan ngilu itu masih terasa. Dan kali ini dia tidak dapat menutupinya, karena tiba-tiba senyumnya memudar.
"Kamu kenapa, Ik?" Tanya cowok itu bingung karena gadis kecil didepannya terlihat muram.
Oik hanya menggeleng kecil, lalu dipandangnya cowok itu dengan senyuman. Membuat cowok itu tambah tersipu-sipu, sekaligus malu karena dipandang seperti itu. Cowok itu membalas tatapan Oik, menatap sepasang bola mata hitam yang bulat jernih itu. Cowok itu seperti dapat melihat kedalam hatinya, apa yang dirasakan Oik. Semua tergambar jelas dimatanya. Lalu cowok itu tersenyum penuh pengertian. Tiba-tiba Oik menangis karena dipandang seperti itu, dia tidak dapat membendung semua kecemasannya lagi.
"Aku takut, Al. Aku takut." katanya gemetar.
Alvin memeluknya seketika, membuat Oik terlonjak kaget. Alvin mengerti perasaan sahabatnya itu. Dan pelukan itu menyampaikan segalanya.
"Aku tau, Ik. Aku tau.." kata Alvin, suaranya melunak. Dia mengerti sekali bagaimana rasanya dan bagaimana beratnya harus berpisah dengan sahabat karibnya. Yang telah dia kenal bertahun-tahun itu.
"Jangan lupain aku ya. Walaupun kita udah nggak satu sekolah lagi nantinya" kata Alvin berusaha menghibur gadis kecil yang disayanginya itu.
"Aku juga takut, takut nggak bisa ketemu kamu lagi" lalu Alvin melepas peluknya. Dia menyeka air mata dipipi sahabatnya itu dengan penuh ketulusan.
"Jangan nangis lagi ya. Aku mohon. Kita tetap sahabat, kan?" Alvin menunjukkan kelingkingnya.
Oik tersenyum kecil, sambil sesegukan Oik lalu mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Alvin, "Sahabat" katanya getir.
Entahlah ada perasaan lain disana, perasaan yang lebih. Lebih dari sekadar sahabat. Lebih dari sekadar mengaitkan jari kelingking. Tapi Oik sendiri tidak mengerti itu perasaan apa. Ketakutan itu tetap saja bersarang dihatinya. Dia takut. Amat takut. Takut kehilangan Alvin, lebih dari yang Alvin tau. Iya Alvin tidak tau bahwa Oik ketakutan lebih dari itu. Alvin tidak akan tau, karena Oik telah menyusupkan perasaan itu jauh kedalam hati kecilnya. Sehingga Alvin pun tidak bisa membacanya. Oik tidak bisa membayangkan, dia tidak akan bisa melihat wajah sahabatnya itu lagi. Mungkin tidak juga, jika Tuhan mengizinkan mereka bertemu kembali. Tapi bagaimana jika Tuhan berkehendak lain? Ahh.. adakah hal yang lebih menyakitkan daripada perpisahan? Dan yang terpenting yang paling ditakutinya kini adalah... Ketika sudah tidak pernah bertemu lalu Alvin tidak lagi mengingatnya sebagai sahabat. Ohh, sungguh Tuhan. Oik meratap dalam-dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laugh or Tears
Teen Fiction“Jangan lupain aku ya. Walaupun kita udah nggak satu sekolah lagi nantinya” kata Alvin berusaha menghibur gadis kecil yang disayanginya itu. “Aku juga takut, takut nggak bisa ketemu kamu lagi” lalu Alvin melepas peluknya. Dia menyeka air mata dipipi...