Bagian 3

89 4 6
                                    

Laugh or Tears

"Woy, apaan tuh rame-rame?" teriak Andre kearah kerumunan orang-orang yang berada diujung kantin. Sontak, yang lain menengok kearah yang ditunjuk Andre. Seluruh anak kelasnya sedang mengerumuni seseorang atau sesuatu, banyak anak cewek yang menjerit-jerit ketakutan.

Mereka berempat berlari kearah kerumuman massa. Ternyata mereka sedang bergerumun dan menunjuk-nunjuk kearah seorang anak cowok yang sedang memegangi wajahnya yang bersimbah darah, sekitar 3 meter dari mereka. Dia mengerang kesakitan dibalik kaca jendela yang pecah di seberang kantin. Di lab biologi.

"Reno! Itu Reno!" Teriak salah seorang cewek begitu histeris.

"Ya Allah, itu Reno kenapa? RENO BERDARAH-DARAH!!!" Timpal yang lain tidak kalah histeris.

Sementara yang cewek menjerit-jerit histeris, anak-anak cowok malah menghilang dari peredaran. Selain Alvin dan teman-temannya, tidak satupun anak cowok kelasnya yang terlihat. Alvin memandang jijik kearah kerumunan orang ini, karena sedari tadi hanya mengoceh tidak jelas tanpa bertindak apapun.

"Bantuin gue, goblok!" Bentak Alvin sambil memecah sisa kaca jendela yang masih menempel dikusen. Dion membantu menendang pecahan kaca dikusen jendela sampai tidak ada sisa lagi. Sementara kerumunan massa tadi hanya memandang takjub kearah dua orang cowok yang sedang melakukan tindakan pahlawan itu. Andre dan Gilang langsung berlari untuk memanggil guru.

Alvin membopong tubuh cowok itu dibantu Dion. Mereka membawa cowok itu ke rumah sakit. Keadaannya sangat mengenaskan. Darah bercucuran dari wajah, leher dan bahunya. Semuanya terkena pecahan kaca yang tertancap di dagingnya.

"Siapapun yang kenal orang ini, tolong hubungin keluarganya. Gue sama Dion antar dia ke rumah sakit."

***
Suara decitan sepatu yang beradu dengan lantai dengan tempo cepat memecah keheningan yang tercipta di depan ruang UGD. Alvin dan Dion menoleh kearah sipemilik keributan. Antara kaget dan lega, Alvin membeku di posisinya.

"Reno nggakpapa, kan?" tanya sipemilik keributan. Dion mewakili Alvin sebelum cowok itu sempat menjawab.

"Eh, Sivia. Doain aja semoga dia nggakpapa, Vi."

Sivia melorot kebawah saat bersender pada dinding rumah sakit untuk duduk, dia duduk disamping Alvin. Saat mendengar kabar adiknya kecelakaan di lab biologi hal itu membuatnya seperti diterjang angin topan yang memporak-porandakan pikiran dan perasaannya. Dia bahkan terlalu shock untuk mengabarkan orangtuanya sekarang. Memijat dahinya, Sivia meringis pelan. Alvin menepuk pundak Sivia menenangkan.

"Pasti baik-baik aja kok, Vi. Lo tenang ya," Alvin tersenyum penuh pengertian, "Lo kenal sama anak itu? Pacar lo?" Tanya Alvin ragu, sambil memandangi mimik desperate Sivia. Ada nada harap yang bermakna tersirat dikalimatnya.

"Adik gue satu-satunya." Jawabnya tanpa memandang si penanya, Alvin.

Alvin mengangguk paham, tersenyum sekilas kemudian menghela nafas. Sivia baru saja ingin melanjutkan ucapannya saat kemudian dokter keluar dari ruang UGD.

"Keluarga pasien?"

Sivia berdiri tegak dari duduknya, "Saya dok." Aku Sivia.

"Pasien tidak apa-apa, hanya membutuhkan jahitan untuk luka-lukanya dan sekarang sudah bisa dipindahkan ke ruangan biasa," dokter pria itu tersenyum simpul, "Beruntung dia segera dibawa kerumah sakit, kalau tidak dia sudah banyak kehilangan darah. Ada beberapa daerah di leher dan bahu yang robek lumayan dalam dan mendapat jahitan cukup banyak," Sivia hampir saja menjatuhkan dirinya karena sekarang kakinya terasa lembek seperi jelly kalau saja Alvin tidak menahan lengannya, "Kabar baiknya, tidak ada luka serius. Tidak ada kaca yang mengenai mata maupun urat saraf pasien. Pasien sudah bisa dijenguk 2 jam lagi setelah siuman."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 22, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Laugh or TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang