Di sinilah aku. Tenggelam dalam kerumunan orang asing yang sangat mengganggu. Terpuruk dalam keadaan terburuk yang pernah kualami selama hidupku.
Pesta malam ini sama saja dengan pesta yang pernah kuhadiri tempo lalu. Dentuman musik DJ memekak pada indra pendengaran, banyak sepasang kekasih bercumbu dengan liarnya, serta orang mabuk yang tersebar di segala penjuru ruangan seolah-olah menjadi suasana yang tidak asing lagi bagiku.
Frat Harry akan semakin ramai ketika hari kian larut malam dan sepertinya ruangan ini sudah tidak sanggup menampung banyaknya orang-orang mabuk yang sedang berdansa. Aku kembali menatap sekumpulan pemuda-pemudi yang sering kutemui akhir-akhir ini. Mereka tengah berkumpul membentuk lingkaran tidak sempurna. Mabuk dan bercumbu merupakan ritual penting bagi orang-orang seperti mereka. Entah keberapa kalinya, aku menggidikkan bahu setelah sekian lama memandang mereka dari kejauhan.
Sudah sekitar dua jam aku tiba di frat Harry dan selama itu pula tidak ada aktifitas yang kami lakukan. Pria brengsek itu lebih memilih menikmati botol vodka-nya ketimbang memikirkan keadaanku sekarang. Lagi pula dia memang tidak pernah memikirkan keadaanku. Mungkin sekarang aku terlihat layaknya gadis idiot yang dengan bodoh menuruti semua perintah dari pria asing sepertinya. Oh, betapa menyedihkannya ini? Dewi batinku membulatkan sepasang lensa matanya secara kesal.
Sejurus kemudian Harry menggerakkan tangannya untuk merogoh ponsel yang ia simpan di saku jeans-nya.
"Jangan berani melarikan diri. Ingat, aku akan tetap mengawasimu."
Kontan aku memutar bola mata darinya. Memangnya apa pedulimu? "Terserah kau saja, Harry."
Dan dengan itu ia segera bangkit dari tempatnya untuk mengangkat telepon dari seseorang yang tidak ingin kuketahui namanya. Aku memang tidak peduli tentang siapa yang meneleponnya atau masalah apa yang akan ia selesaikan. Tapi jika aku berbicara jujur, untuk saat ini aku lebih membutuhkannya di sampingku ketimbang aku diharuskan duduk-duduk manis di antara pemuda-pemuda mabuk yang menjijikkan. Maksudku, lihatlah, mereka menatapku bak seekor macan yang mengintai mangsanya untuk dijadikan sasaran empuk. Sialan. Setidaknya kehadiran Harry di sisiku akan lebih membuatku nyaman dari lelaki-lelaki yang kurang hiburan ini. Dan, ya, ini adalah yang pertama dan terakhir kali aku mengatakan kehadiran pria brengsek itu membuatku nyaman.
Seperdetik kemudian seorang lelaki bertubuh tegap dengan rambut hitam pekatnya melangkah mendekatiku. Demi Tuhan, aku mulai merasa takut sekarang. Aroma tubuhnya membuatku mengernyit dan menjulurkan lidahku keluar karena ingin muntah. Sudah berapa botol yang ia teguk malam ini?
Ia menyeringai, dan tanpa persetujuan dariku lelaki itu menempatkan tubuhnya di atas bangku kosong yang berada di dekatku.
"Kau kemari sendirian, gadis manis?" Kau ini bisa melihat atau tidak? Pertanyaan bodoh. "Bagaimana kalau aku menemanimu? Aku sangat bosan dengan kejamnya dunia ini."
Aku tergelak, miris akan pemilihan kata yang baru saja ia ucapkan. Bosan dengan kejamnya dunia ini? Menurutku itu sama sekali tidak benar. Usaha dan perbuatanmu lah yang menentukan jalan yang kau lewati dan ke arah mana kau akan pergi. Setidaknya dulu ayah sering menasehatiku semacam itu dan aku yakin 100% apa yang ayah katakan itu benar. Well, jika lelaki ini lebih memilih kehidupan malam menjadi jalan hidupnya, maka selama itu pula ia akan merasa bahwa dunia ini kejam. Kenapa ia tidak berpikir untuk merubah hidupnya yang sia-sia ini? Hey, dan kenapa aku peduli dengan pria-yang-tidak-kuketahui-namanya itu?
"Kau mau minum? Aku bisa mengambilkan beberapa botol vodka untuk kita berdua." tawarnya sembari mengerjapkan matanya berkali-kali. Benar bukan? Aku sudah menduga bahwa pria ini tengah mabuk berat. Mungkin saja kali ini pandangannya sudah buyar atau... apakah ia sekarat?
KAMU SEDANG MEMBACA
CRUSHED
Fanfiction[DISCONTINUED] "He's an asshole. He's a bastard. He's hurting me. He makes me a mess." WARNING: This book contains sexual scenes and harassing words. If you're under 18 please be a wise reader. © 2015 by talibeharry