"Katakan apa maumu dan...—"
Belum sempat aku menuntaskan kalimatku, tahu-tahu bibir Harry sudah menempel pada milikku. Pria brengsek ini menciumku untuk kesekian kalinya. Sikapnya memang sukar ditebak. Bagaimana ia bisa menciumku setelah beberapa menit yang lalu ia menamparku? Bahkan tamparan itu masih terasa pekat di kulit wajahku bak tersengat lebah.
Menit telah berganti, dan selama itu pula ia terus-terusan memberikan kecupan-kecupan lembut pada bibirku. Bibir penuhnya terasa kenyal dan... basah. Tidak sampai di situ, bahkan kali ini lidahnya ikut andil dalam aksi ciumannya. Dengan sengaja ia membasahi bibirku menggunakan lidahnya, memaksaku membuat akses agar ia dapat menjelajahi mulutku. Namun entah mengapa aku tidak bisa melakukan apa-apa selama ia menciumku. Tidak memberontak, tidak juga membalas. Mulutku tetap terkatup rapat meski kuakui kecupan Harry benar-benar membuatku kepayang nikmat.
"Kiss me, El." gumamnya setelah menghentikan kecupannya. Namun tak lama kemudian, ia mengecup bibirku lagi. Dalam dan lebih dalam. "Fuck! Please, kiss me."
Oh, Tuhan, apa ia gila? Ya, kurasa ia memang telah kehilangan akalnya. Tentu aku tidak bisa mencium pria yang telah menyakitiku. Tidak akan bisa. Pipiku memanas, pelupuk mataku sudah tak bisa menahan bulir-bulir air mata hingga kini terasa meleleh membasahi pipiku. Aku hanya tidak sanggup diperlakukan seenaknya. Ini semua kelewat sulit dicerna bagi otak kecilku. Masih segar pada ingatanku bagaimana ia meremehkanku, menghinaku di hadapan teman-temannya, dan yang terakhir menamparku cukup keras.
Sekarang, dengan mudahnya ia memintaku untuk menciumnya, seolah-olah tidak ada masalah yang terjadi di antara kami. Apa itu masuk akal? Apa aku salah jika aku membencinya? Seharusnya dari awal aku menjauhinya, aku tidak perlu mengikuti permainannya karena itu akan menyakiti diriku sendiri. Kau sangat bodoh! Dewi batinku menarik rambutnya ke belakang secara frustasi.
Dengan segenap kekuatan yang masih kumiliki, kedua tanganku mendorong dada bidang Harry untuk menjauh dariku. Syukurlah ia mengerti akan pemikiranku dan segera menjauhkan tubuhnya dariku. Memiliki cukup ruang untuk bergerak, aku pun menggantungkan tasku pada bahu kemudian bangkit dari ranjangnya menuju pintu. Aku harus pergi sekarang.
"Kau mau kemana?" ujarnya menutup jalanku. Ia berdiri tegak dan menahan kenop pintu ketika aku berusaha membukanya.
Tetapi aku tidak menjawab pertanyaannya, justru kembali melanjutkan kegiatanku yang tertunda.
"Aku bertanya padamu, El."
"Oh, astaga, tentu tidak ada alasan lagi untuk tetap bertahan di dekatmu, bukan? Mulai sekarang kita tidak mempunyai masalah apa-apa, Harry. Jadi jangan menggangguku, dan aku juga tidak akan mengganggumu. Dengar?"
"Kau mau pergi?"
"Tentu saja."
"Sekarang?"
Aku mendengus kesal, memutar bola mataku darinya. "Aku harus mengatakannya berapa kali?"
"Kau tidak bisa pergi sekarang, semalam ini. Apa kau gila? Berkeliaran sendiri di tengah malam seperti ini akan membahayakan dirimu sendiri, kau tahu itu."
"Ya, aku tahu. Lagi pula apa pedulimu?!" sahutku hampir berteriak—atau bahkan aku sudah berteriak. Sejurus kemudian kuloloskan kemeja yang ia berikan padaku tadi kemudian menaruhnya di atas meja kecil yang tidak jauh dari jangkauanku. "Selamat malam, Harry."
"Tidak, tunggu dulu. Kau bisa bermalam di sini."
"Terima kasih, tapi aku sangat tidak membutuhkannya." sahutku lebih cepat dari yang kuniatkan.
Harry-bajingan-Styles membeku di tempatnya. Kilatan manik mata hijaunya memancarkan kekhawatiran, kemarahan, dan hal-hal lain yang tidak dapat kuartikan. Namun sayangnya aku sudah tidak peduli apa yang ada dalam pikirannya. Yang kuperlukan hanyalah segera pergi dari tempat ini dan tidak akan menemuinya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRUSHED
Fanfiction[DISCONTINUED] "He's an asshole. He's a bastard. He's hurting me. He makes me a mess." WARNING: This book contains sexual scenes and harassing words. If you're under 18 please be a wise reader. © 2015 by talibeharry