Barbara's POV
Aku mengutak-atik smartphoneku dengan bosan. Pengunjung kafe sedang sepi hari ini. Kalau pun ada yang datang, ada bawahanku yang melayani mereka. Aku hanya ikut membantu saat kafe sedang banyak pengunjung dan para waitress kewalahan melayani mereka. Aku membuka kafe ini sejak tiga tahun yang lalu bersama dengan dua orang temanku yang bertindak sebagai investor, dan aku sebagai pengelola.
Kadang-kadang ada beberapa temanku yang lain yang juga datang untuk membantu melayani pengunjung, meski beberapa diantaranya hanya sebagai modus untuk berkenalan dengan pengunjung yang cantik atau seksi. Dasar lelaki! Nah, ada satu orang yang paling ahli dalam hal modus-modusan. He is Dave, yang datang ke kafe untuk membantu –katanya– tetapi ujung-ujungnya minta nomor handphone, pin BBM, id Line, username Instagram dan lain sebagainya. Seingatku semua aplikasi jejaring sosial ada di smartphonenya. Sampai aplikasi pencari jodoh pun ada. Kau tahu, aplikasi yang bisa membuatmu memberikan like atau love langsung ke foto profil seseorang jika kau tertarik padanya. Menurutku aplikasi semacam itu tidak masuk akal. Kalau mau cari jodoh ya langsung ketemu orangnya atau via biro jodoh yang memang real, bukan di dunia maya yang rentan penipuan. Bisa saja kan, foto profilnya perempuan tapi aslinya lekong?!
Aku sudah sering menasehati Dave tentang itu, tapi Dave selalu saja ngeyel. Katanya jodoh bisa datang dari mana saja. "Ya bagus kalo yang dateng dari du-may itu beneran cewek, kalo lekong? Lu makan tuh filosofi jodoh lu, Dave!" ucapku kesal waktu itu. Dave memang susah dibantah. Kalau dia sudah yakin sama sesuatu, dia bakal susah untuk merubah pendiriannya.
Bip. Bip. Bip.
Layar smartphoneku yang awalnya laman browser tentang menu dessert khas Eropa berubah ke mode panggilan.
Dave calling
'Yaelah, baru juga dipikirin. Udah nelpon aja nih orang.' Gumamku kesal. Aku segera mengetuk tanda hijau di layar.
"Barbar, lu harus bantuin gue!" suara Dave terdengar panik. Aku menjauhkan telepon dari telinga dan menatap layar sekali lagi. Tumben banget si Dave ga ngomong manis-manis dulu. Biasanya dia kalau minta bantuan pasti ngomongnya ala rayuan gombal.
"Napa lu, Dave?" tanyaku to the point, setelah menempelkan kembali layar telepon ke kupingku.
"Lu harus ke rumah gue. Sekarang. Ga pake lama!" Tuut tuut.
Sambungan teleponnya langsung terputus begitu saja, saudara-saudara. -_-
"Iish! Ga sopan banget sih ni anak! Nelpon ga pake halo, manggil gue Barbar, trus telepon main tutup aja lagi!" Aku misuh-misuh sambil menatap layar smartphoneku. Beberapa waitress terhenti dari pekerjaan mereka dan menatapku heran. Aku balik menatap mereka dan cengengesan.
Tapi walaupun sedang kesal, aku tetap mengambil jaket beserta kunci mobilku dan segera berlari ke parkiran. Dave memang ngeselin sih, tapi kalo bicara masalah solidaritas, loyalitas dan yang selalu care sama aku, dia selalu jadi yang pertama yang muncul di pikiranku. He is really a best friend ever.
O~o~o~o~O
Normal POV
Dave bersandar pasrah ke dinding. Di sampingnya ada Barbara, yang langsung datang secepatnya begitu Dave meneleponnya. Wajah Bara –panggilannya Barbara– menyiratkan banyak emosi, antara takjub, heran dan cemas secara bersamaan. Takjub karena seorang Dave dapat titah buat jagain Candace, heran karena Bianca bisa-bisanya ngasih Dave tugas itu, dan cemas bagamaina Dave akan menjalankan tugasnya. Mereka berdua tengah menatap –atau lebih tepatnya menonton– Candace, yang tengah asyik memadu-padankan baju-baju super mungil untuk boneka Barbie-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Princess
Teen FictionDave Alvaro Wijayakusumo. Seorang cowok single berusia 24 tahun yang hidup mapan, nyaman, serba teratur dan tipe cowok cassanova. Semuanya selalu terencana dibenaknya. Bahkan jadwal clubbing-nya pun sudah ditentukan jauh-jauh hari. Keadaan seharusny...