Chapter 4

59 5 7
                                    

Apa katanya tadi?

Tidak berubah?

HEI ASAL DIA TAHU, AKU BAHKAN TIDAK KENAL SIAPA ITU DIKI ZUMARA. NAMA ANEH ITU MENGANGGUKU HINGGA SEKARANG.

Ingin rasanya aku membotaki rambut hitamnya itu.

"Vi, lo gak kenapa?" Amay, sekali lagi kau menghancurkan fantasi liarku.

"Gak. Gue kenapa-kenapa. Siapa tuh Diki Zumara? Seenaknya aja dia bilang gue bodoh!" Aku mengepalkan kedua tanganku dan memukul bangku bench.

"Hei, santai dong~ Tunggu, Diki Zumara?! Lu gak inget dia?!" Kini malah Amay yang berteriak.

"Hah? Maksudlo apa? Gue bahkan gak pernah tau tuh anak!" Teriakku membalas. Kini kita menjadi bahan perhatian seluruh siswa.

"Astaga gue lupa! Oh ya, lu gak kenal dia! Puas hah?!" Amay mengambil botol minumannya dan keluar dari gedung olahraga.

Siapa Diki?

(;`O')o

Setelah mengganti pakaian dan cuci wajah, aku langsung menuju ke kelas kakak. Jangan tanya untuk apa, tentu saja untuk mengembalikan sepatu milik Kak Cahya.

Cahya lagi ya? Aku jadi malas. Jadi, kulambat-lambatkan saja langkah kakiku.

Sampai aku melihat dia lagi.

Diki Zumara.

"Ossu! Ada cewek bodoh disini ya? Kakimu udah baikan?" Kata pemuda aneh, jelek, dan SANGAT menyebalkan di depanku ini.

"Apasih? Aku kenal juga gak. Minggir sanah!" Aku meninggalkan Diki dan tetap menuju ke kelas kakak.

"Vi, kamu akan nyesel kalok ke kelas kakak."

Setidaknya itulah yang kudengar. Malas sekali aku mendengarkan orang asing itu.

.

.

.

"Seharusnya aku mendengarkan Diki..."

.

.

.

Itulah yang aku sesalkan sampai saat ini. Jika saja aku mendengarkan Diki, mungkin aku tidak akan melihatnya.

"Kak,"

Kakakku berciuman dengan Cahya. Bukan cium pipi, tapi di bibirnya.

Aku diam. Kakak sama sekali tidak mendengar panggilanku. Semua orang dikelas tidak ada, hanya kakak dan Kak Cahya.

"Kak," Panggilku sekali lagi.

Tetap tidak ada respon. Aku mengepalkan kedua tanganku kuat-kuat.

"KAKAK!" Oke aku muak!

Kakak menoleh dan melihatku yang mengangguk sambil mengepalkan tangan.

Author's.

Suasana terasa mencekat. David hanya diam dan terus menatap Vipi, sedangkan Cahya berusaha menyembunyikan wajahnya.

"Cih!" Vipi tiba-tiba saja berlari dan menampar pipi Cahya. "KAU MATI! MENCIUM KAKAKKU TANPA IZIN, DIMANA HARGA DIRIMU?!" Teriak Vipi. Dia benar-benar diluar kendali.

"Vipi! Apa-apaan kamu?! Sini, ikut kakak!" David lalu menarik tangan Vipi dan membawanya keluar kelas.

Mereka pastinya hanya menuju ke satu tempat, ruang musik.

(._.)

"Cih kusso!" Teriak David sambil melepaskan tangan adiknya dan mendorong Vipi ke arah piano.

"Dimana akal sehatmu Vi?! Aku yang menciumnya, bukan dia! Kamu gila ya?!" David menaikkan nada suaranya.

Vipi hanya diam.

"Seharusnya kamu berlatih yang giat! Besok adalah pertandingan finalmu, bodoh!" Teriak David sambil menggebrak meja absen.

"I LOVE YOU!" Teriak Vipi. Kini air mata sudah membasahi pipinya.

"Seharusnya ibu tidak mengadopsimu. Menjijikan." David lalu berjalan keluar ruang musik.

ーーーーー

Nyannn! Sampe sini dulu yaa!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 24, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PianisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang