Taking every breath away
With all of the mistakes I made
From all the letters that I saved
This is everything I didn't say
***
Suasana kamar Ashton yang sangat sepi ini membuatku bosan. Kemana dia? Lama sekali ia pergi. Sudah berkali-kali aku menghubunginya, dan tak ada satu pun telephone atau pesan yang dijawabnya. Sialan orang tua itu.
Kenapa disaat aku membutuhkan teman untuk bercerita, semuanya mendadak sibuk?! Luke yang pada akhirnya bisa kembali lagi denga Wine, tak mau menyia-nyiakan day off kami ini tanpa menghabiskan waktu dengan gadisnya itu. Cih, padahal kemarin-kemarin kerjaannya hanya melamun sambil memeluk boneka penguinnya yang bau itu, lalu menangis. Dan sekarang ia melupakanku yang sudah membantunya? Awas saja kau Lucas.
Right, kesedirian ini lama-lama bisa membuatku berubah menjadi wanita pms. Kenapa aku sensitive sekali setiap mendengar teman-temanku memiliki acara dengan pacar mereka, kecuali Mike pastinya, karena aku tak ingin berpacaran dengan komputer atau console games.
Terkadang menjadi jomblo itu ada enaknya, bebas melakukan apapun tanpa beban, tapi itu hanya bertahan sementara, begitu kau merasa kesepian dan tak ada teman, disitu kau baru sadar akan pentingnya seseorang special itu.
Lagi-lagi Viena. Aku mendesah pelan mengingat kejadian siang tadi. Aku sudah berhasil menemukannya kembali, tapi begitu ia sudah ada di depan mata, ia justru pergi. Sial. Dimana lagi aku harus mencarinya?
CLEK
Aku menoleh kearah pintu yang terbuka, lalu menunjukkan Ashton yang terlihat terkejut. Ia terlihat panik dengan sebuah kotak berwarna merah muda berpita biru. Ah, pasti untuk Apple.
"Kenapa kau bisa di sini?" tanyanya sambil menutup pintu. Aku pun bangun dari posisi tidurku lalu duduk bersila di atas kasurnya.
"Aku menunggumu sejak tadi bodoh," jawabku. "Mom Anne bilang kau sedang keluar, jadi aku menunggumu di sini. Kau darimana?"
Ia kembali terlihat panik, lalu meletakkan kotak yang di bawanya tadi di atas meja komputernya. Penasaran, aku pun mendekatinya dan meraih secarik kertas yang tergantung pada pita kotak tersebut. Mungkin semacam ucapan terima kasih atau tulisan dari alamat toko dimana ia membeli kado ini.
DEG
Aku membeku. Astaga!
Tanpa bertanya macam-macam pada Ashton, aku langsung meninggalkan kamarnya. Aku harus bertemu Viena sekarang.
***
Aku menghentikan mesin mobilku, tepat di depan sebuah toko kue yang tampaklah cukup sepi. Lagi-lagi aku tersenyum. Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, aku tak berhenti tersenyum. Aku senang? Tentu saja. Akhirnya apa yang ku tunggu sejak lama, terjadi juga. Ya Tuhan, aku benar-benar merindukan gadisku.
Ku tarik nafasku berkali-kali untuk menetralkan perasaan gugupku. Entah mengapa aku benar-benar gugup. Jujur saja, bisa dibilang ini adalah kali kedua atau mungkin ketigaku untuk 'menyatakan' perasaanku yang sebenarnya pada Viena. Ya, aku memang bukan tipe orang yang suka mengucapkan kata cinta kepada kekasihku sendiri. Dan itu adalah salah satu alasan kenapa Vi meninggalkanku. Aku terlalu cuek dan pengecut saat itu. Bodoh.
Kedua mataku langsung menangkap sosok gadis berambut brunette panjang yang kini dibuat tengah dibentuk menjadi messy bun. Hei, bahkan disaat jam kerjanya yang sungguh dapat membuat penampilan kotor dan berantakan, ia masih saja terlihat cantik. Astaga, aku benar-benar merasa sangat bodoh karena dulu menyia-nyiakan gadis seperti dirinya.
Dengan langkah sedikit gugup, aku mendekati salah satu meja. Ia tengah menuliskan sesuatu pada sebuah buku. Mungkin itu adalah jurnal atau mungkin data-data tentang toko ini. Ia terlihat sangat serius. Dan aku suka itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
(SLS II) Everything I Didn't Say | c.h
Fanfiction"Aku baru menyadari bahwa aku membutuhkanmu ketika waktu tak memberikanku lagi kesempatan untuk kembali menyatakannya. Aku terlambat." - Calum Hood. "Aku bukan menyerah. Aku juga bukan lelah. Tapi aku sadar, mungkin memang bukan kau lah yang pantas...