I hope you know, for you I'd sacrifice
To make this right***
"Hoaaam, aku mengantuk."
Aku tertawa pelan sambil mengangkat tubuh mungil Keana yang terlihat lesu. Anak ini sungguh menggemaskan. Aku tak mengerti apa yang membuat ayah kandungnya lebih memilih untuk meninggalkan Viena dan Keana begitu saja. Tapi kalau dipikir-pikir, andai lelaki brengsek itu tak meninggalkan mereka, aku tak akan pernah berkesempatan untuk memiliki mereka. Atau bahkan bertemu mereka. Ada bagusnya juga ternyata, haha.
"Memangnya apa saja yang kau dapat hari ini, sayang?"
Keana mengangkat sedikit kepalanya yang semula bersender pada bahuku. Kedua tangan mungilnya memegang erat leherku, untuk menjaga tubuhnya agar tak jatuh dari gendonganku.
"Math and English," jawabnya dengan mata yang lesu. "Apa dulu daddy menyukai pelajaran itu? Karena Kee benci keduanya. Apalagi Matematika."
Aku tersenyum sambil mengelus puncak kepalanya, lalu mendorong pelan pintu toko yang terlihat tak begitu ramai siang ini. "Me neither," kataku. "Sekarang, naiklah keatas dan beristirahat. Sore nanti, Dad akan mengajakmu ke taman dan membeli ice cream."
Keana pun turun dari gendonganku, lalu berlari menaiki tangga menuju lantai atas. Aku bisa mendengar suara beberapa pekikan kecil dari beberapa gadis yang sedang menikmati santapan mereka. Aku yakin mereka adalah beberapa dari sekian banyaknya fansku yang sejak tadi menunggu kedatanganku. Haah, terkadang aku merasa jenuh dengan sikap mereka yang suka sekali menguntitku ketika day off. Tapi mau bagaimana lagi? Tanpa mereka, bandku tak akan pernah menjadi se-sukses ini bukan?
"Dia meminta Keana tinggal bersamanya, Dave. Sudah ku bilang bukan? Sebaiknya aku menjual toko ini dan pindah dari kota ini. Aku tak mau 'ia' mengambil Keana."
Aku yang berniat untuk menghampiri Viena yang ku yakini berada di dapur, seketika menghentikan langkahku. Suara lirih dan isakan tangis Viena membuatku mengurungkan niatku. Ada apa ini?
"Tapi tak semudah itu Vi. Aunty Maura sudah memintaku untuk menjaga kalian dan toko ini karena hanya toko ini lah yang kalian punya."
"Aku harus pergi. Mak-maksudku kita. We have to move. Sebelum 'ia' mengambil Keana."
"Then Calum?"
Aku tersentak begitu Dave menyebut namaku ditengah perdebatan mereka. Tangisan lirih Viena tak lagi terdengar. Aku pun mengintip sedikit dari balik pintu dapur yang terbuka. Dari sini aku bisa melihatnya dengan jelas tenga menundukkan kepalanya dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku yakin pasti ia tengah menahan tangisnya.
"He loves you. Can you see that?," ujar Dave sambil menepuk pelan pundaknya. "Aku yakin ia akan terpukul kalau kau dan Keana pergi begitu saja dari hidupnya. Lebih baik kau ceritakan semuanya terlebih dahulu padanya. Aku yakin, ia bisa menjaga kalian."
Viena menggelengkan kepalanya, membuatku mau tak mau mengerutkan keningku. Ada apa ini sebenarnya? Siapa yang akan mengambil Keana memangnya? Ayah kandungnya? Waahh, enak sekali orang itu meminta Keana begitu saja setelah lebih dari 5 tahun mengabaikan mereka?! What a gentleman!
"Aku tak ingin membawa Calum kedalam masalah ini, Dave." Aku tersentak begitu mendengar jawabannya. Apa ini artinya ia meragukanku selama ini? "He deserves a better girl than me. Ia masih terlalu muda untuk mempunyai sebuah hubungan yang serius."
Haaah, ternyata hal itu lagi yang menjadi masalahnya.
***
"CEPATLAH KELUAR DARI KAMARKU, HEMMINGS!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
(SLS II) Everything I Didn't Say | c.h
Fanfiction"Aku baru menyadari bahwa aku membutuhkanmu ketika waktu tak memberikanku lagi kesempatan untuk kembali menyatakannya. Aku terlambat." - Calum Hood. "Aku bukan menyerah. Aku juga bukan lelah. Tapi aku sadar, mungkin memang bukan kau lah yang pantas...