Gadis itu mematut dirinya di cermin. Rambutnya yang panjang melebihi bahu dikucir asal dan menyisakan anak-anak rambut yang tak cukup terikat. Iris, gadis berumur 19 tahun yang baru saja memasuki dunia perkuliahan. Ia mengambil jurusan sastra Inggris di salah satu universitas swasta terkemuka di kota Bogor, kota Hujan.
Setelah cukup puas dengan penampilannya yang terlihat kasual, Iris berjalan menuju rak sepatu, mengambil sepatu flat berwarna pastel setelah memasang kaus kaki coklat motif bunga di kakinya. Ia terbiasa memakai sepatu dengan kaus kaki. Agar tidak lecet adalah alasan klasik yang sering ia lontarkan kepada teman-temannya SMA yang menganggap kebiasaannya sedikit kekanakan.
"Iris, kau tidak butuh ini?" terdengar suara perempuan di belakang Iris. Wajahnya pucat, dan terdapat kerut di bawah matanya.
"Tidak, Ma. Iris tidak akan sempat makan di jam pertama, berikan saja pada Nina. Dia tidak pernah sarapan."
Rina, Ibu Iris itu menggeleng. Heran dengan Iris yang tidak biasanya melewatkan sarapan. Kemudian ia beringsut menuju dapur dan kembali berjalan ke arah Iris di ambang pintu ruang tamu. "Bawalah ini" kata Rina dengan mengangsurkan botol minuman ukuran 500 cc kepada anak sulungnya. "Ini air madu. Pastikan kau meminumnya, karena Mama tidak mau maagmu kambuh di hari pertama kuliahmu."
----
"Iris!"
Iris menghentikan langkahnya sesaat setelah seseorang memanggil namanya. Ia berbalik dan mendapati seorang gadis berjalan ke arahnya. Luna, sahabat dan tetangganya yang tanpa sengaja mengambil jurusan mayor yang sama dengannya.
"Maafkan aku karena tadi tidak mengajakmu pergi bersama. Kau tahu kan, Bintang seringkali datang dan mengacaukan rencana kita," Luna berhenti untuk menarik nafasnya yang terdengar tak beraturan sebelum kembali melanjutkan kalimatnya, "kau tidak marah kan?"
Iris memandang datar ke arah Luna. Detik selanjutnya, ia tersenyum simpul, "Aku tahu pemuda itu tetap menjadi prioritasmu."
"Jadi?" tanya Luna berharap cemas.
"Yaya, aku memaafkanmu. Apa lagi yang bisa kulakukan, untukmu selain itu, ha?" katanya sarkastis yang dibuat-buat.
"Aku tahu kau akan mengatakannya," Luna menyeringai. Ia langsung menjajari Iris yang sudah melangkah mendahuluinya. "Omong-omong, kau sudah memutuskan akan mengambil minor apa?"
Iris memutar bola matanya, seolah ia masih harus berpikir dan belum memutuskan apa-apa. Di kampusnya memang terdapat sistem jurusan mayor-minor. Jurusan mayor merupakan jurusan utama yang diambil ketika tes pertama masuk perguruan tinggi, sedangkan jurusan minor merupakan jurusan yang diambil selama setahun untuk memenuhi SKS yang harus ditempuh.
"Kau tetap berniat mendaftarkan dirimu masuk jurusan jurnalistik?" Luna tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
Iris tersenyum lalu mengangguk bersemangat. "Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini, kau tahu? Mama sudah melarangku untuk masuk sekolah jurnalistik."
"Yeah, kau memang selalu menantang hal-hal baru, Iris!" kata Luna tanpa menutupi senyuman bangganya.
Mereka tidak melanjutkan obrolan karena Iris telah sampai di ruang kelasnya terlebih dahulu. Sedangkan Luna harus berjalan sekitar dua ruangan lagi sebelum mencapai kelasnya.
"Kabari aku saat istirahat pertama. Kita bisa makan siang di kantin dekat Fakultas Bintang." Seru Luna sebelum ia berlalu dari hadapan Iris.
Iris bahkan belum sempat mengiyakan permintaan sahabatnya itu. Namun ia tahu, ia juga tidak akan sanggup menolak permintaan Luna.
---
Iris berjalan cepat menuju sebuah gedung jurusan jurnalistik, tepat di belakang gedung sastra. Ia lupa jika setelah istirahat di jam pertama ia harus masuk untuk mengikuti kelas minor di gedung tersebut. Ia berharap tidak terlambat meski kemungkinan itu kecil. Demi Tuhan, ia membenci dirinya yang harus tergesa-gesa seperti ini. Jika bukan karena hari pertama, ia tidak akan berlari seperti saat ini.
Iris segera menaiki tangga menuju lantai dua. Kemudian berbelok ke kanan. J2A adalah kelas yang harus dimasukinya. Setelah berjalan dan melewati beberapa ruangan, akhirnya ruangan yang dicari ketemu juga. Ia bisa sedikir bernafas lega karena ia belum melihat seorang dosen memasuki ruangan itu.
Setelah merasa bahwa nafasnya sudah mulai teratur, Iris memasuki ruangan yang diyakininya sebagai kelas minor jurnalistik. Ia menyapukan pandangan, menyeleksi bangku mana yang akan ia duduki.
Nomor tiga dari depan. Tepat di samping jendela!
Ia bergumam tanpa suara. Lalu melangkah menuju bangku yang diincarnya. Sesaat ia menelusuri apakah ada barang milik orang lain. Dan untungnya, tidak ada sama sekali. Jadi tanpa ragu ia meletakkan tas ranselnya di bangku tersebut bersamaan dengan tas ransel lain yang terlebih dulu mendarat tepat di atas tasnya.
Iris menyadari ada orang di hadapannya sekarang. Seketika ia mengangkat wajahnya dan mendapati hanya bahu seseorang yang dapat ia lihat. Jadi, mau tidak mau ia harus mendongakkan kepalanya agar bisa melihat dengan jelas siapa orang yang menantangnya untuk membuat perkara.
"Maaf, seharusnya bangku ini tempatku, Miss!" pemuda jangkung dengan tinggi hampir 180 cm sedang menatap Iris dengan sunggingan meremehkan. Iris sempat terpaku beberapa saat. Ia merasa kalah dengan tatapan pemuda di hadapannya. Jadi cepat-cepat ia menoleh ke segala arah dan kembali menatap pria di hadapannya. Triknya agar tidak begitu terintimidasi dengan pandangan lelaki itu.
"Seharusnya aku yang mengatakan ini padamu. Aku melihat bangku ini kosong..."
"Dan sesaat sebelum kau mendaratkan tasmu, harusnya kau melihat tas ku sudah ada di situ." Sergah pemuda itu. Tidak mau kalah.
Oh, astaga. Lelaki itu keras kepala juga, pikir Iris. Gadis itu berdecak kesal. Ia sebenarnya ingin sekali memaki lelaki itu dan memaksanya untuk pindah di bangku lain yang masih kosong di sekitar mereka. Tapi, itu sedikit kekanakan. Jadi ia memutuskan untuk bergeser dan memindah tasnya pada bangku lain selain di sebelah bangku pemuda menyebalkan itu.
"Kau juga tidak lihat, ada tas di depan bangku yang kini akan kau duduki, Miss?" pemuda itu kembali berujar. Suaranya terdengar lebih santai. Tanpa permisi, ia meloncat ke bangku yang diperebutkannya dengan Iris. Dan duduk dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Iris kembali memutar bola matanya. Wajahnya yang putih pucat sudah merah padam menahan kesal. Ia kembali memungut tasnya dengan sedikit kasar. Lalu mengedarkan pandangannya, mencari bangku kosong yang jauh dari tempat lelaki ini duduk. Betapa tidak beruntungnya dia saat mendapati kelas mulai penuh. Hanya ada sederet bangku dan beberapa detik selanjutnya, dosen matakuliah dasar-dasar jurnalistik sudah memasuki ruangan dan membuka salam. Mau tidak mau ia harus duduk di samping pemuda menyebalkan yang membuat hari pertama kuliahnya sedikit berantakan.
"Langit" tiba-tiba pemuda menyebalkan itu mengulurkan tangannya di hadapan Iris. Setelah terdiam sedikit lama, gadis itu membalas uluran tangan pemuda itu, dan mendesiskan namanya malas.
"Iris."
*** to be continued ***
KAMU SEDANG MEMBACA
After Rain Sky
Teen FictionGadis itu tahu, Langit tempatnya berpijak tidak akan sama ketika ia menyadari Langitnya juga telah pergi. Lantas cita-cita dan ambisi yang selama ini ia perjuangankan, harus dipertaruhkan. Saat itu pula, ia merasa dunia tidak lagi memberikan warna...