Malam itu Iris tidak bisa tidur. Pikirannya melayang entah kemana. Ada yang aneh dalam dirinya walau ia merasa tidak ada yang salah. Tetapi, melihat Langit dan Mutiara di selasar perpustakaan tidak membuatnya nyaman. Ia sedikit terganggu walau ia tahu hal itu tidak seharusnya terjadi.
Mungkin gara-gara sedang hujan. Mungkin aku sedikit demam, makanya perasaanku tidak enak.
Begitu pikirnya. Sepanjang malam ia mensugesti diri agar pikirannya tenang. Berkali-kali ia pejamkan mata namun sepertinya itu sama sekali tidak membantu.
"Astaga, kenapa aku ini!" gumam Iris.
Dengan gusar ia bangun dan keluar kamar. Ia berniat menuju dapur untuk mengambil air minum, tetapi langkahnya terhenti ketika tiba-tiba Rina, ibunya keluar dari kamar dan menghampirinya.
"Bisa mama bicara sama Iris?
Iris sedikit ragu. Ini hampir tengah malam. Tidak biasanya ibunya keluar dari kamar jam segini.
Iris pun menurut. Diikutinya Rina yang berjalan menuju ruang tengah. Mereka pun duduk berhadapan. Rina tampak berpikir sebelum mengajak ngobrol Iris. Membuat anak sulungnya menjadi sedikit kikuk.
"Mama tadi beres-beres kamar Iris. Tidak sengaja Mama melihat buku ini." Rina membuka obrolan sembari memungut buku di bawah meja. Ia perlihatkan itu kepada putri sulungnya yang barang tentu sangat mengenali buku itu. Fotografi Jurnalistik. Buku yang dipinjamkan Langit padanya.
"Ini buku Iris?" tanya Rina.
Iris terhenyak mendapati buku Langit berada di tangan ibunya. "Mama dapat dari mana?"
"Iris, Mama tidak melarang Iris untuk gabung di kegiatan pers kampus. Tapi Mama mohon, jadikan itu sebagai selingan. Mama tetap tidak setuju suatu saat kamu ambil pekerjaan itu. Iris mengerti kan alasan Mama?"
Dan ibunya selalu berkata begitu. Bahkan sebelum Iris menjelasan apa pun.
"Ya sudah, Iris balik ke kamar sana. Sudah malam. Besok ada kuliah pagi?"
Iris tidak bisa berkata apa pun selain mengangguk. Ia terima buku yang tadi ditanyakan ibunya lalu beranjak ke kamar. Menjelaskan apa pun juga tidak akan bisa mengubah pemikiran ibunya tentang minatnya itu. semua tidak akan berubah. Begitu pikir Iris.Keesokan harinya, Iris berangkat dengan diantar ayahnya. Kebetulan, Danny, ayah Iris juga perlu keluar untuk membeli obat anggrek.
"Iris kenapa diam saja? Tidak suka Papa antar?" Danny memecah keheningan. Ia sebenarnya sangat akrab dengan Iris. Daripada Rina, Danny lebih gampang bergaul dengan Iris. Anak mereka yang sedikit pendiam itu.
"Nggak kok, Pa. Iris hanya... sedang kepikiran sesuatu," katanya ragu-ragu.
Haruskah Iris ceritakan pembicaraannya dengan ibunya tadi malam pada ayahnya? Atau tidak perlu? Toh ini bukan persoalan yang serius. Setidaknya sampai hari ini, Iris pikir itu bukan permasalahan yang serius.
"Kepikiran apa, Nak? Kamu ada kuis nanti?" kejar Danny setelah ia membelokkan mobilnya menuju gerbang kampus Iris.
"Ah, bukan kuis, Pa. Tetapi, ada esai yang kurang sempurna Iris kerjakan. Papa jangan khawatir," jawabnya dengan berusaha tersenyum meyakinkan. Dan sepertinya Papanya tidak curiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Rain Sky
Teen FictionGadis itu tahu, Langit tempatnya berpijak tidak akan sama ketika ia menyadari Langitnya juga telah pergi. Lantas cita-cita dan ambisi yang selama ini ia perjuangankan, harus dipertaruhkan. Saat itu pula, ia merasa dunia tidak lagi memberikan warna...