Skrip 7

85 10 4
                                    

Hujan mulai mengguyur Kota Bogor. Udara tetap dingin walau jam dinding di kelas jurnalistik telah menunjukkan pukul setengah sebelas. Satu setengah jam menuju tengah hari. Dan lima menit menuju berakhirnya kelas Dasar-dasar Jurnalistik.

Suara Handoko Adjie, dosen muda yang kali ini masuk di kelas Iris sama sekali tidak membuat mata gadis itu melebar. Padahal hampir semua mahasiswa perempuan di kelasnya mengagumi sosok Handoko Adjie. Tampan, masih awal tiga puluh, berkarir di National Geographic Indonesia dan belum menikah. Tetapi, di kepala Iris sama sekali tidak ada daftar kelebihan Handoko Adjie. Dia hanya memikirkan hari ini adalah deadline pengumpulan artikel HUT kampusnya karena akan masuk proses editing. Yang berarti dia juga perlu bekerja ekstra karena Ichas dengan tega memasukkannya di divisi itu minggu lalu. Belum lagi tugas membuat essay di mata kuliah Introduction to English Culture.

"Astaga, kepalaku bisa pecah!" desisnya samar sambil mengedip-kedipkan matanya.

"Kau mabuk?"

Langit mendengar desisan gadis itu.

Ya, sejak percakapan mereka di lapangan futsal beberapa hari lalu, hubungan keduanya lebih baik. Mereka mengobrol beberapa hal, bahkan sesekali bercanda. Iris tidak akan marah jika Langit duduk di sampingnya. Gadis itu bahkan merasa nyaman, tanpa ia sadari.

Iris menutup catatannya. Handoko Adjie baru saja keluar kelas setelah beberapa mahasiswa perempuan gagal menarik perhatian dosen muda itu.

"Tidak.. Aku hanya mengantuk..." katanya sembari menguap.

Gadis itu tidak ingat berapa jam dia tidur semalam. Setelah ngebut membuat empat artikel, memeriksa artikel beberapa teman reporternya di ST. Mendapat ocehan Ichas karena dia lupa lapor hasil wawancaranya dengan ketua BEM Fakultas Teknik, dan tugas untuk membuat makalah di matakuliah Sentence Structure.

"Dilihat dari lingkaran pandamu, sepertinya aku percaya. Hahaha! Baiklah, aku akan berbaik hati, ayo ikut!" Seketika Langit menarik lengan Iris untuk mengikutinya. Membuat gadis itu kelabakan memasukkan beberapa buku dan perlengkapannya.

"Hah! Kau ini benar-benar lamban!" Langit yang setengah berjalan dengan masih mencengkeram lengan Iris mau tidak mau berbalik dan membiarkan gadis itu untuk memasukkan beberapa barangnya dulu. Selanjutnya mereka pun berjalan keluar kelas. Kali ini Iris hanya mengikuti pemuda jangkung di depannya itu tanpa protes apa pun.

"Kau duduk dulu di sini!" perintah Langit.

Iris menurut. Ia duduk di salah satu bangku memanjang yang ada di kantin fakultas. Sementara Langit berlalu di salah satu stan penjual minuman.

Belum lama Iris duduk, matanya menangkap sosok Ichas. Tetapi atasannya itu berlalu tanpa melihat ke arahnya. Yah, terserahlah, toh nanti ia akan tetap kena marah bosnya itu. Lalu beberapa menit kemudian, Luna memasuki kantin.

Gadis itu melihat Iris sendirian.

"Hei! Sendirian?" Luna menyapa.

"Ah, Luna? Kau sudah selesai kuliah?" tanya Iris balik.

"Kau sedang tidak sehat?" Luna mendekatkan tangannya ke dahi sahabatnya itu. Tetapi suhu Iris masih cukup normal walau sedikit hangat.

"Aku begadang. Karena empat artikel yang harus kubuat. Belum lagi Ichas membuatku kelabakan karena aku juga perlu mengedit beberapa artikel punya anak-anak." Keluh Iris akhirnya. Setidaknya ia butuh teman curhat.

Luna sedikit terkekeh walau sebenarnya merasa kasihan. Tetapi bahkan nasibnya tidak begitu berbeda dengan sahabatnya itu.

Belum juga Luna menjawab, Langit menghampiri meja Iris yang sudah diduduki dua gadis. Mata pemuda itu sedikit melebar mendapati Luna. Tetapi ia memilih menunggu penjelasan Iris.

After Rain SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang