Ros menatap layar laptopnya dengan tatapan hampa. Segelas jus jeruk dan seloyang pancake bertoping es krim vanilla dengan parutan keju di atasnya, menemaninya menikmati kesendirian sore ini. Pikirannya baru kembali ke alam nyata saat sebuah musik mulai mengalun pelan. Sepertinya orang lain tak tahu atau bahkan tak peduli dengan lagu itu, kemungkinan hanya dia sendiri yang menikmatinya. Di tengah ruangan berukuran 3x5 meter, lagu Samba De Mon Coeur Qui Bat yang dinyanyikan oleh Coralie Clement itu membuat suasana bertambah sendu…tentunya hanya bagi Ros.
Ros sangat menyukai tempat ini. Kombinasi suasana yang tenang, hawa yang dingin, sajian pancake yang manis dan lembut, dia suka. Ros memang menyukai makanan manis lebih dari jenis makanan apapun, tapi dia lebih menyukai dirinya sendiri di atas segala-galanya di dunia ini.
Asupan gula bisa membuatnya tambah bersemangat di kala dia lesu dan bisa juga membantunya untuk menenangkan perasaannya di saat sedang kacau. Begitu juga dengan hari ini, dia sengaja melarikan diri ke sini karena begitu banyak kekacauan yang terjadi dalam hidupnya belakangan ini. Tidak ada deadline pekerjaan yang menumpuk sampai-sampai bisa membuatnya tercekik, memang. Tidak ada hutang yang membayanginya, kecuali pada Sissy, teman satu kosnya yang membayarinya makan karena dia lupa ke ATM tempo hari. Tapi ada Martin yang tiba-tiba membuatnya takut karena pernyataannya kemarin yang sangat di luar dugaan…dan Ros sama sekali tak siap dengan itu.
Di usianya yang menginjak 26 tahun ini, Ros sudah hidup mapan, setidaknya secara ekonomi. Gajinya sebagai graphic designer di sebuah perusahaan dengan saham yang stabil di kota sebesar ini sudah bisa mencukupi kebutuhannya akan sandang, pangan dan papan. Dia juga bisa menabung, membayar asuransi dan bahkan mengirimi keluarganya sejumlah uang dengan hasil yang dia peroleh setiap bulannya. Hidupnya aman, nyaman dan dia sedang menjalani sesuatu yang sudah jadi passion-nya selama ini. Tapi bukan ‘hidup’ namanya kalau keadaan terus-terusan mulus.
Seperti siklus hidup manusia kebanyakan yang bermula dari anak kecil-sekolah SD, SMP, SMA, kuliah-lulus tepat waktu lalu kerja kantoran, fase berikutnya yang harus dia lalui adalah pernikahan. Orang-orang itu, manusia di luar sana, ketika sudah menjalankan ‘tugasnya’ dengan baik sampai tahap bekerja, pasti akan dihadapkan dengan pertanyaan yang sama: kapan nikah? Dan pertanyaan itu akan semakin sering dilontarkan seiring dengan berjalannya waktu.
Dulu, sudah lama sekali, Ros pernah menulis tentang target hidupnya di sebuah dokumen Ms. Word yang salah satunya menyebutkan kalau dia tak boleh memikirkan tentang pernikahan sebelum berumur 25 dan tak akan menikah sampai usia 27. Menurutnya, angka 27 itu paling ideal, tidak terlalu dini tapi juga belum terlambat (dia yakin semua perempuan merencanakan rencana ‘ideal’ seperti itu, sama seperti dirinya). Dia menulisnya pada saat umurnya 21 tahun, sekarang tulisan itu sudah tidak ada tapi masih dia ingat jelas di kepalanya. Sampai umur 22, Ros masih menganggap dirinya sebagai anak kecil yang masih perlu banyak waktu bermain. Tapi setahun kemudian dia mulai merasa dewasa, gayanya berubah, pandangannya berubah, kebutuhannya pun berubah semakin ‘matang’.
Saat ini Ros berada di tengah-tengah dimana menurut pendapatnya 5 tahun yang lalu, dia sudah boleh memikirkan tentang PERNIKAHAN dan tahun depan dia sudah boleh MENIKAH. Dia seharusnya bersyukur karena Martin datang di saat yang tepat. Laki-laki yang terpaut usia 3 tahun lebih tua darinya itu sebenarnya adalah teman Sissy, dia sering datang ke kos mereka karena jadi 1 project team dengan Sissy di kantor, dari situlah awal mula perkenalan mereka. Ah, awalnya Ros belum kenal, Martin lah yang sudah sering memperhatikannya, lalu Sissy berbaik hati mengenalkan mereka berdua.
Ros tak tahu bagian mana dari dirinya yang bisa membuat Martin jatuh hati, namun dari sorotan matanya Ros tahu kalau Martin memang memandangnya secara berbeda, mungkin “tatapan mata yang dalam” adalah ungkapan yang tepat. Ros merasa kalau Martin memang tulus padanya, dia suka dengan segala perhatian dan kecemburuan yang Martin berikan padanya. Dari segala sisi, Martin adalah sosok yang tepat untuknya, dia sangat memahami Ros (satu hal yang paling Ros suka). Dia tak memperlakukan Ros seperti kebanyakan pria memperlakukan wanita selayaknya gadis ABG yang harus selalu dikontrol kegiatannya setiap jam, tak ubahnya seperti tahanan kota. Singkat cerita, Martin itu pria yang benar-benar pria di mata Ros.
Tapi Ros lupa akan satu hal, kaum lelaki tak melakukan sesuatu yang manis terhadap perempuan tanpa tujuan. Martin menginginkan Ros menjadi miliknya, inilah yang tidak bisa Ros terima. Menjadi milik laki-laki adalah sesuatu yang tidak dia suka, dari dulu…sampai detik ini. Menyandang ‘label’ sebagai kepemilikan laki-laki membuatnya merasa lemah, menjadi nomer 2, dan dia benci dengan semua bayangan itu. Sekalipun dalam sudut hatinya dia sebenarnya membutuhkan laki-laki untuk mencintainya, namun dia tak mau mengikatkan diri pada lelaki manapun, bahkan pada dia yang sudah berhasil membuat hatinya takluk.
Malam itu, ketika Martin mengungkapkan perasaannya pada Ros, Ros hanya bisa menjawab, “Aku tak bisa. Aku tak mengenalmu.” Memang benar, Ros belum benar-benar mengenal Martin. Menerima Martin saat ini tak ada bedanya dengan membeli kucing dalam karung.
“Kalau begitu kita belum perlu membuat komitmen. Kita bisa saling mengenal terlebih dahulu.” Martin tetap ngotot. Matanya menyiratkan betapa permohonan itu dia minta dengan sungguh-sungguh.
Ros tidak tega, tapi dia benar-benar tidak menginginkannya. Mengabulkan permohonan Martin sama artinya dengan memberinya harapan palsu, Ros hanya akan membohonginya kalau dia tidak menolaknya. “No.” katanya tegas tanpa minta maaf.
Sebelum Martin melanjutkan kata-katanya lagi, Ros sudah berdiri dan pergi meninggalkanya. Martin yang belum bisa mengembalikan pikirannya ke alam sadar mengejar Ros dengan hati yang sudah tercabik-cabik. “Ros, tunggu!” tangannya berhasil menggapai tangan Ros sebelum Ros sempat menghadang taksi.
“Tak ada gunanya kamu mengejarku. Keputusanku tak akan berubah.” Ros melepaskan genggaman Martin dengan perlahan sambil tetap menatap matanya lekat-lekat. Ros melambaikan tangannya dan membuat sebuah taksi berhenti di sampingnya. Dia membuka pintu dan mulai beranjak mendekatinya saat sebuah pikiran kejam melintas dalam benaknya. Dia tahu sekarang, semuanya menjadi jelas. Itulah jawabannya, jawaban mengapa Ros menolak Martin padahal dia sudah membuat janji dengan dirinya sendiri tentang rencana pernikahannya di masa depan.
Ros memasukkan potongan pancake terakhir ke dalam mulutnya dan kembali mengetik. Ketikannya selesai, bersamaan dengan berakhirnya lagu bossanova tadi. Dia kemudian memilih menu “post” dan menunggu loading beberapa saat lamanya sampai artikelnya terunggah sempurna. Pandangannya kembali sendu, hatinya semakin berat terasa ketika dibacanya kata demi kata, terlebih saat sampai pada kalimat terakhir: Sebenarnya aku tak pernah punya gambaran mengenai diriku yang menikah di masa depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Singlelogico
Non-FictionSebuah catatan singkat tentang wanita lajang berusia 26 tahun yang baru menyadari perasaannya sendiri, dan bagaimana kebingungan dalam benaknya membawa blunder untuk dirinya sendiri.