Surat Terakhir

103 1 2
                                        

[Ros yang beberapa bulan lalu melewati masa-masa rapuh karena tidak mau menikah, untuk kesekian kalinya dipertemukan lagi dengan cinta. Shane, kehadirannya mampu menyentuh lubuk hati terdalam Ros. Ajaib, tapi mencemaskan. Entah apa yang diinginkan Tuhan, tapi mereka berdua memang sedang jatuh cinta. Naturally, tanpa paksaan, tanpa disangka, tanpa diharapkan. Tidak seperti kehadiran Martin yang secara tiba-tiba berusaha meruntuhkan pertahanan Ros maupun kenyataan bahwa Nell sangat tergila-gila padanya, kali ini dia benar-benar sedang dimabuk asmara. Ros dan Shane, mereka saling mencintai. Namun merasakan perasaan yang sama bukan berarti memuluskan jalan mereka untuk menjalin hubungan lebih jauh secara resmi. Mereka harus melewati suatu jalan yang disebut proses, proses yang sangat panjang dan melelahkan.]

“Aku tahu rasa ini tidak akan bertahan selamanya, suatu saat akan pergi dariku. Dia dan aku, suatu saat kami akan berpisah dan hari ini akan jadi kenangan di masa depan…kenangan yang hanya akan membuat dada terasa sesak dan hati terasa berat.”

Saat-saat seperti inilah yang membuatku selalu ingin meninggalkannya. Aku rasa lebih baik kami berjauhan, seharusnya mulai dari sekarang aku tidak sering berkomunikasi dengannya. Tapi seperti biasanya, ketika aku sudah berhasil menjauh darinya dan kepala ini tidak lagi dipenuhi pikiran tentangnya, kami lagi-lagi menjadi dekat. Perasaan nyaman itu datang lagi, aku pun melupakan tujuanku semula.

Tak dapat dipungkiri kalau aku mencintainya. Ya, cinta. Itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan apa yang menghubungkan kami berdua saat ini. Meski kami sama-sama belum pernah mengutarakan perasaan kami yang sebenarnya, tapi aku tahu -aku yakin dia juga tahu- kalau kami punya perasaan yang sama. Hanya saja, baik aku atau dia belum sepenuhnya yakin pada apa yang akan kami jalani. Sedang memantapkan hati, sepertinya.

Tapi bukan itu yang jadi masalahku. Aku, yang mempunyai banyak kerumitan dalam masa lalu dan pikiranku, tidak yakin akan apa yang hendak kujalani nanti bersamanya. Apakah kami bisa berjalan berdampingan? Apakah keanehan diriku ini tidak akan mempersulit hidupnya? Akankah dia dapat bertahan selamanya denganku? Aku tak mau dia berjanji, untuk apa berjanji kalau akhirnya janji itu akan pudar? Pikiran-pikiran itu terus saja membayangiku, seolah tidak mau melihatku bahagia, mereka terus membuatku takut pada hari esok.

Aku sudah berkali-kali berdoa pada Tuhan supaya perasaan ini menghilang, supaya kami dijauhkan, supaya kami tak terlanjur berharap satu sama lain. Aku minta pada-Nya supaya perasaan dalam hatinya hilang tak berbekas, agar dia tak merasa sakit. Kalaupun harus ada yang merasa sakit biarlah itu aku, biar aku saja yang menanggungnya. Aku sudah berkali-kali merasa sakit, tak apa jika sekali lagi aku merasakannya. Tapi dia, aku tak mau dia larut dalam kesedihan karena kesakitan yang aku timbulkan.

Ah, ternyata aku benar-benar mencintainya. Aku sangat mencintainya sampai-sampai terus saja berharap supaya dia tak terluka dengan hubungan yang tak berujung ini.

Dulu aku tak tahu apa gunanya pernikahan, sampai ulang tahunku yang terakhir pun aku masih tak tahu esensi dari pernikahan itu sendiri. Tapi sekarang aku tahu, kenapa orang-orang ingin menikah, kenapa orang-orang yang sudah menginjak kepala 2 mulai memikirkan tentang pasangan hidup. Itu karena tantangan hidup di hari-hari mendatang semakin berat, akan semakin sulit rasanya jika ditanggung seorang saja, karena itulah manusia butuh “menikah”. Menurutku itulah alasan mendasar mengapa Tuhan menyuruh manusia untuk menikah. Bukan karena tradisi manusia apalagi kebutuhan biologis, tidak. Kalau masih ada yang berpikir demikian, berarti dia termasuk golongan yang berpikiran picik. Kalau ada yang berpendapat menikah karena saling cinta…errr, menurutku dia sudah mendekati kebenaran.

Back to Shane.

Dia, laki-laki yang seumuran denganku itu, sudah kukenal sejak 4 tahun yang lalu tapi kami baru benar-benar kenal sekitar 1 tahun yang lalu. Dia sekantor denganku dulu. Waktu itu kami hanya sebatas kenal saja, tidak terlalu akrab karena berbeda divisi. Mengobrol pun kami belum pernah, seingatku. Kami juga tidak berteman di dunia maya. Kemudian dua tahun yang lalu aku pindah kantor. Dan setahun yang lalu, karena kedua perusahaan tempat kami bekerja menjalin kerjasama, kami pun bertemu kembali dalam kelompok kerja khusus tersebut. Bahkan sampai tahun lalu kami masih merasa asing satu sama lain.

SinglelogicoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang