Prolog

12.2K 535 12
                                    

Aku datang ke Spanyol pada tahun 2010 sebagai perempuan terbuang, depresi, dan pernah satu kali mencoba bunuh diri.

Namun, setelah hampir empat tahun tinggal di Kota Madrid, kuliah di Faculty of Fine Arts, University Complutense of Madrid, hidupku lumayan membaik. Paling tidak, setelah bertahun-tahun berwajah datar, sekarang aku bisa tersenyum lagi. Ah, teman-teman lamaku pasti kaget melihat aku-seorang Windy Larasati, benar-benar bisa tersenyum.

Begitulah.

Senyuman itu terjadi begitu saja, di suatu sore setelah pulang dari kampus. Ketika itu, aku sedang berada di alun-alun Kota Madrid untuk melukis—bukan di atas kertas atau kanvas, tapi di tembok salah satu bangunan kafe. Dua teman senimanku, Gabriel dan Hasan, mengajakku mengerjakan proyek mereka lagi. Aku memang sering kebagian job seperti itu, lumayan untuk menambah uang saku, meskipun bagianku biasanya paling sedikit.

Aku punya beberapa teman baik di Spanyol, dan itu cukup mengejutkan. Karena awalnya aku sempat kesusahan menggunakan Bahasa Spanyol. Seminggu pertama, aku malah cuma hafal tiga kalimat. Me llamo Windy, nama saya Windy. Soy de Indonesia, saya dari Indonesia. Donde esta el banyo? Di mana toiletnya?

Tidak heran, dulu, aku tidak punya teman. Selain itu, paling tidak, ada dua hal yang harus dipelajari jika ingin diterima dalam pergaulan masyarakat di Spanyol. Pertama, kamu wajib mengerti sepak bola, karena nyaris semua orang Spanyol suka bola. Kedua, lebih baik kamu tahu cara membuat Paella, makanan tradisional Spanyol. Paella memang lebih dikenal di daerah Valencia, tapi ada juga di Madrid. Bentuknya semacam perpaduan antara nasi kuning dan seafood. Bahannya antara lain: udang, dada ayam, dan nasi. Semuanya dicampur dengan bumbu-bumbu lainnya dalam satu wajan berukuran jumbo, dan biasanya dimakan bersama-sama sambil mengobrol. Makanya, kalau ada Paella, suasana pasti langsung akrab.

Pikiranku kembali ke tempatku melukis. Di tengah keramaian orang-orang yang berseliweran, banyak sekali suporter sepak bola yang melintas. Lengkap dengan jersey, bendera-bendera kecil dan gambar logo tim kesayangan di wajah. Malam nanti akan ada pertandingan final Copa Del Rey di Stadion Santiago Bernabéu. Derbi antara Real Madrid melawan Atletico Madrid. Sebenarnya aku ingin menyaksikan pertandingan itu. Namun, apa boleh buat. Aku sudah terlanjur menerima tawaran melukis tembok.

Biasanya, setiap akhir pekan, jika Real Madrid main di kandang dan ada teman yang membelikan tiket (harganya 16 Euro), aku hampir selalu hadir di stadion. Dulu, aku memang tidak suka bola. Namun sejak tinggal di Madrid, bisa dibilang, aku adalah salah satu Madridista—fans sejati Real Madrid. 1% karena aku memang suka bola, 99% karena bokong seksi Cristiano Ronaldo.

"Hola, Bella. Vas a ir al estadio? Kamu mau ke stadion?" Tanya seseorang di belakangku. Bella artinya cantik. Dan kepalaku terasa agak besar.

Aku menoleh sekilas, ternyata Si Micu, teman kampusku. "No, estoy trabajando. Aku agak sibuk." Sahutku.

"No te molestarla, Micu. Jangan ganggu." Gabriel ikut menimpali, namun matanya tetap fokus ke tembok yang dilukisnya.

"Madridista sejati tidak pernah melewatkan satu pertandingan pun." Bujuk Micu. "Ayolah, aku yang bayar tiketnya."

"Aku sedang sibuk, Micu. Sorry."

"Okay." Lalu dia pergi sambil mencak-mencak. Maklum, baginya, tidak menonton pertandingan Real Madrid adalah dosa besar.

Walaupun tidak terlalu fanatik, rasanya sayang juga jika harus melewatkan pertandingan terakhir Real Madrid. Bagaimanapun, tahun depan mungkin aku sudah tidak di Spanyol lagi.

Tapi sudahlah.

Aku pun kembali mengerjakan lukisanku. Sambil menyapukan kuas dengan warna coklat muda di tembok, aku berpikir tentang hal-hal yang bisa kulakukan besok atau minggu depan. Saat Liga Spanyol sudah berakhir, untuk hiburan sepanjang liburan kuliah, biasanya aku jalan-jalan ke Paseo del Prado. Mengunjungi tiga museum besar di sana. Prado Museum, Thyssen Bornemisza Museum, dan Reina Sofia Museum. Menyenangkan sekali bisa menikmati karya seni dari seniman-seniman besar, seperti Diego Velasquez, Francisco De Goya, dan Pablo Picasso. Iya, aku juga tidak terlalu kenal seniman-seniman itu, aku malah sempat mengira mereka petinju.

Namun, setelah hampir empat tahun, dan kuliahku hampir selesai. Entah kenapa, aku tidak terlalu berselera untuk pergi ke museum atau nonton bola. Senyaman apa pun hidupku di Madrid, tetap saja hatiku ada di rumah. Aku ingin pulang ke Indonesia, menjenguk Bapak, memeluk Ibu, dan membimbing Naya, adikku. Dan terutama karena aku sangat merindukan dia.

Sudah lama tidak ada kabar darinya. Seperti apa dia sekarang? Apa sudah menikah? Atau masih menungguku?

Saking kangennya, saat kami—aku, Gabrial dan Hasan—diminta oleh pemilik kafe untuk memenuhi temboknya dengan sentuhan seni, aku mengusulkan untuk menggambar wajah-wajah manusia dari lima benua, aku kebagian melukis wajah orang barat dan asia. Dan tanganku malah bergerak sendiri, melukis wajahnya.

Dan saat itulah, ketika sedang asyik melukis, seseorang menepuk pundakku, dan mengucapkan salam dalam Bahasa Indonesia. Aku menoleh dan menemukan sosok itu—laki-laki yang wajahnya sedang kulukis, berdiri di belakangku sambil tersenyum. Lantas, selama dua detik itu, seperti sebuah film, semua peristiwa yang kualami di masa-masa suram hidupku sebelum sampai ke Spanyol, melintas kembali di kepalaku.

Dan semuanya dimulai saat Bapakku ditanggap polisi, sepuluh tahun yang lalu.

Senyum WindyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang