6

4.2K 229 3
                                    

Pagi itu, aku berbaring di ranjang hotel dalam keadaan telanjang, dan merasa sangat nista.

Sampai matahari terbit, aku tidak bisa tidur, badanku sakit semua. Dan aku berpikir tentang kemungkinan terburuk. Bagaimana jika aku hamil? Apa itu mungkin? Dia tidak keluar di dalam kan? Jadi, tidak mungkin aku hamil. Namun, aku tetap saja takut.

Daripada stres, aku memilih pasrah. Buru-buru, aku mandi, berharap bisa menjadi lebih segar. Saat berjalan menuju pintu kamar mandi, langkahku agak terseok. Semalam laki-laki itu benar-benar menggila, rasanya tulang pinggulku agak bergeser.

Ya ampun.

Selesai mandi, bukannya segar, aku malah merasa badanku semakin remuk. Dengan gerakan patah-patah, aku berpakaian, sempat kebingungan mencari g-string-ku, dan menemukannya di bawah tempat tidur. Entah bagaimana benda itu bisa berakhir di sana. Kembali aku bercermin, dan berjanji tidak akan mau lagi memakai gaun sialan ini.

Begitu turun ke lobi hotel, aku berjalan keluar dan menyetop taksi. Tujuanku adalah pulang ke kos. Tidak mungkin aku langsung pergi ke rumah sakit dengan pakaian seperti ini.

***

Sampai di kos, perasaanku sedikit lega, karena Ibu tidak ada di kamarnya. Sepertinya beliau menginap di rumah sakit. Seusai berganti pakaian, aku pun langsung meluncur ke rumah sakit dengan menumpang angkot. Di tengah himpitan penumpang lain, aku memeluk tasku erat-erat, di dalamnya ada uang yang kuperoleh semalam.

Begitu sampai, aku menuju bagian administrasi rumah sakit, dan membayar semua biaya operasi. Kata petugasnya, sore itu juga, adikku akan menjalani operasi.

Dari bagian admistrasi, aku memasuki kamar adikku, Ibu tidak ada di sana, yang ada hanya Jo. Dan Naya yang sedang tertidur.

"Kenapa lu jalannya kayak nenek-nenek encok?" Tanya Jo begitu melihatku muncul dari pintu. Aku hanya memandangnya dingin.

Lantas, Jo mengalihkan tatapannya dariku, dan melihat Naya. "Apa uangnya benar-benar sudah ada?" Tanyanya lagi.

"Sudah." Sahutku pelan. "Barusan gua udah bayar semuanya."

"Uang dari mana?"

"Nggak penting."

Jo berdiri dan meletakkan kedua tangannya di bahuku. "Lu nggak melakukan hal-hal bodoh kan?"

"Bukan urusan lu." Ujarku kesal. Aku menepis tangannya, dan menatap ke arah lain, tidak berani menatap mata Jo.

Sekilas, aku merasa pandangan Jo menerawang, matanya manatapku tapi seperti tidak menatapku. Lalu dia melipat kedua tangan di dada. "Bukan urusan gua?" Tanyanya pelan. "Tega sekali lu bilang gitu? Bukan urusan gua? Semalam gua yang jagain adik lu, gua yang khawatir setengah mati dan bertanya-tanya lu ada di mana. Semalam gua juga yang beliin nasi bungkus buat ibu lu. Dan sekarang lu bilang ini semua bukan urusan gua?"

Hening.

Aku mengusap wajahku, lalu menghela napas. "Maaf, Jo. Gua tau lu peduli. Kemarin, gua cuma ngalamin malam yang berat." Ujarku pelan. "Tapi gua dapat uangnya secara halal kok, gua jual lukisan." Bohong.

"Oh ya? Ada yang mau beli?"

"Iya, temennya Mita." Kalau ini benar. Namun yang dibeli bukan lukisanku, tapi keperawananku.

Jo tersenyum. "Bagus. Gua nggak nyangka ada yang mau beli lukisan lu."

"Lu terlalu ngeremehin gua, Jo."

Jo kembali duduk, aku ikut duduk di sampingnya. Kami diam cukup lama, sebelum akhirnya dokter datang, dan membawa adikku ke ruang operasi. Aku mengikuti rombongan dokter yang mendorong ranjang adikku, namun hanya sampai pintu ruang operasi. Tidak lama, Ibu muncul sambil membawa tiga bungkus nasi. Beliau terlihat kebingungan. Aku pun menjelaskan semuanya saat kami bertiga menunggu di luar ruang operasi.

Senyum WindyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang