Wrong Way

15 2 0
                                    

Malam itu aku menginap dipanti asuhan ibu Laras. Saat aku mencoba meminta izin ibu, untungnya saja diperbolehkan. Mereka semua yang berada disana baik, ramah sekali. Bahkan ibu Laras repot-repot menyiapkan tempat tidur untukku. Sungguh tidak mengenakkan. Terlebih saat aku datang kesini membuat sedikit keributan. Ternyata yang kemarin bertanya padaku adalah Kinan, gadis kecil yang cantik berumur 5 tahun, namun aku malah mengiranya hantu. Dia pun juga berpikir sama membuatnya berteriak takut. Bagaimana tidak takut, maskara yang aku pakai luntur, rambutku yang panjang terurai acak-acakan aku pasti sudah mirip setan. Beruntung ibu Laras tidak banyak bertanya kenapa penampilanku seperti ini. Aku menjawab aku baik-baik saja sepertinya beliau mengerti. Lain kali kalau aku datang kesini aku akan membawakan sesuatu untuk mereka.

Pagi ini aku membantu ibu Laras menyiapkan masakkan untuk anak-anak sebelum pergi kesekolah. Dengan bahan yang sudah dibeli dipasa, aku membuat nasi goreng bergizi untuk mereka. Masakkan yang sudah aku buat ditaruh dimeja makan yang jumlahnya untuk 10 orang. Aku mergabung dengan mereka untuk makan. Senangnya bisa berkumpul seperti ini.

"Kak Yamsi guru piano ya?" Tanya Kinan disela-sela makannya.

"Iya, kenapa kinan?" Tanyaku dengan sangat lembut.

"Aku juga mau diajari main piano kak, Kinan mau."

"Boleh saja, lain kali akan aku bawa kesini alatnya ya."

"Eleh eleh Kinan, malah ngerepotin neng Yamsi. Sudah neng tidak usah."

"Tidak apa ibu. Kalau sempat pasti aku akan mengajarkannya. Lagi pula jadwal aku mengajar tidak setiap hari."

"Kak, aku bisa bermain gitar. Yang ngajarin Om Arkan." Aku menahan tawaku saat Robi menyebut Arkan dengan sebutan Om.

"Iya atuh, dulu Arkan sering sekali bermain gitar disini. Tapi semenjak sibuk bekerja jadi tidak pernah. Sudah anak-anak ayo kalian cepat berangkat kesekolah, nanti terlambat."

Aku dan ibu Laras mengantar anak-anak sampai pintu depan, mereka salim lalu berangkat kesekolah dengan riang. Ah jadi teringat masa kecilku saat semua terasa masih sempurna. dari kejauhan aku lihat sebuah mobil sedan hitam datang dan berhenti dihalaman panti. Aku menyipit melihat siapa yang datang. Ternyata itu Arkan. Kenapa dia kemari? "Ibu yang menyuruh Arkan jemput neng Yamsi." Aku menoleh ibu laras yang berada tepat disamping kiriku.

"Yamsi, kamu kenapa?" Tanya Arkan yang terlihat cemas.

"Arkan, ngapain kamu kesini? kamu gak kerja?"

Dengan polosnya dia menjawab "Engga. Rencananya aku jemput kamu abis itu kerja. Lagian terllambat sekali juga gak masalah, hari ini kantor disibukkan dengan kedatangan Afkar. Dia bisa menghandle kerjaanku sebentar."

Mendengan nama itu aku jadi mengingat masalahku dengan Klara dan Afkar. Aku terdiam sejenak mencerna semua perkataannya. Lalu memandanginya. Kenapa kamu seperti ini? "Yasudah kamu sarapan dulu kebetulan ibu dan aku membuat nasi goreng banyak dan lauk lainnya."

"Benarkah? Wahh beruntungnya aku."

"Ya kamu beruntung. Tapi cepatlah kamu harus berangkat kerja bukan? Aku ganti dulu."

Setelah Arkan menyelesaikan sarapannyay, kami berpamitan dengan ibu Laras. Dan aku memintanya untuk menurunkanku dipertigaan jalan dekat tempat kerjaku. Dia sebenarnya tidak mau tapi aku beralasan kalau saja Abril tau, aku pasti akan mati. Melihat penampilanku sekarang sangat tidak pantas untuk aku mengajar. Ini pasti karena efek semalam. Keterkejutanku mengenai Klara dan Afkar. Setelah ini aku tidak perlu memikirkannya. Bukankah dia masalalu? Lalu kenapa sampai saat ini sepertinya aku masih menunggu?

Ternyata Arkan berpikiran sama sepertiku dan membawaku kesebuah salon. "Arkan kamu apa-apaan sih? Kesini mau ngapain? Kamu bukan...."

"Singkirkan pikiran culasmu itu. Ayo perbaiki penampilanmu dulu. Kamu mau mengajar seperti ini." Aku melihat penampilanku sendiri dan menggeleng pasrah.

Melihat Arkan dengan sabar menungguku dirapikan, aku jadi sedikit berpikir. Sebenarnya sikapnya ini kenapa? Apa dengan semua orang dia selalu seperti ini? Jika iya aku harap aku tidaak terlalu menganggap lebih perhatiannya ini, karena semua itu adalah salah besar. Setelah sekitar satu jam memperbaiki diri akhirnya kami melanjutkan ketempatku bekerja. Saat aku turun dari mobil, aku melihat mobil Abril melewati kami. Ya Tuhan aku harap dia tidak melihat kami. Aku pun cepat-cepat berjalan menuju tempat kerja disana sudah ada Abril, menunggu. Menunggu siapa?

"Ehem." Dia berdehem tepat saat aku melewatinya.

"Pagi Miss Abril."

"Udah deh lo gak usah sok baik."

Aku terkejut mendengar logatnya bicara, sepertinya dia mengetahui Arkan mengantarku tadi dan sekarang aku membangunkan singa yang tertidur. "Maksud kamu apa?"

"Lo itu bukan siapa-siapa. Lo mau jadi PHO ya? Emangnya gue gak tau tadi lo dianter Arkan. Lo lupa kalo dia pacar gue? Sejak kapan kalian kenal?"

"Aku tidak..." Plakkk. Belum sempat aku bicara, tamparan keras tepat mengenai pipi kiriku.

"Ash lo gue kira baik ya teernyata dibalik itu lo sama aja kayak cewek murahan diluar sana."

"Jaga ya ucapan Miss, gak baik jika didengar anak-anak. Aku memang diantar Arkan tapi kami sekedar kenal."

"GUE GAK PEDULI. LO GAK USAH DEKET-DEKET ARKAN LAGI. NGERTI!!!" Setelah membentakku dengan puas dia pergi begitu saja.

Aku hampir saja menangis saat itu juga namun aku menahannya. Aku melanjutkan perjalanan ke meja kerjaku. Sudah ada beberapa orang memandang sinis kearahku. Ada yang nampak prihatin melihat keadaanku, namun aku tidak peduli. Aku rasa mulut manis Abril sudah bekerja. Tiba-tiba Klara datang dengan wajah yang cemas melihat keadaanku "Kamu gak apa Yams?" aku hanya tersenyum lembut kearahnya. Rasanya setelah melihat dia semua masalhku dengannya hilang begitu saja. Aku tidak bisa marah padanya. Dan sepertinya dia tau aku sedang bermasalah dengan Abril. "Pipimu merah, kamu pulang saja ya? Biar aku yang ngomong Pak Richard."

"Gak usah Klar. I'm fine."

"Beneran?"

Aku mengangguk dan mengalihkan perhatian pada Pak Richard yang datang keruangan mengumumkan akan ada pesta perayaan keberhasilan penampilan orkestanya dan perayaan ulang tahun anaknya. Semua diundang tanpa terkecuali. Sepertinya Pak Richard mengetahui pikiranku yang tidak ingin datang.

"Kamu dateng kan?"

"Maybe."

"Soal yang kemarin, tolong dengerin penjelasanku Yams. Aku juga baru tau tentang ini baru-baru ini. Kamu tau saat aku bicara kalau aku melihat Afkar. Ternyata memang benar dia. Selanjutnya aku berat untuk mengatakannya Yams. Aku harap kamu mengerti." Katanya sambil menduduk sedih.

"Katakanlah Klar."

"Aku dijodohkan dengan Afkar." Seperti petir menyambar hatiku sekarang. "Kamu harus tau Yams. Aku terpaksa melakukannya. Papa sakit parah dan dia hanya ingin aku menikah dengan anak teman baiknya yaitu Afkar."

Aku hanya tersenyum menjawabnya dan memeluknya. Dia pun menangis dipelukanku. Ini bukanlah salahnya. Kalaupun dia yang bersama Afkar aku ikhlas. Sungguh Klara pantas bersanding dengan Afkar, dan begitu sebaliknya.

Hari ini aku sepert ditusuk pisau dengan bertubi-tubi. Membuuatku hancur tak tersisa. Aku pendam semua kesakitan berharap kekuatan datang. Tapi aku sadar, disini hanya ada aku sendiri melawan rasa sakit yang teramat nyata. Bagaimana selanjutnya aku akan bangkit?

Afkar yang selama ini aku nanti, berharap suatu saat hadirnya mengisi hariku kembali. Malah dijodohkan dengan sahabatku sendiri. Ini antara sedih dan bahagia. Ah ternyata aku memang masih berharap. Dan Arkan? Sepertinya aku sudah berharap lebih sampai sakitnya terasa begitu nyata. Seharusnya aku bisa mengontrol perasaanku. Tapi cinta tak bisa disalahkan. Tapi sudahlah akan aku pendam sendiri semua ini. Dan biarkan semua berlalu dengan tenang. Aku akan hadapi semua ini.
----------------------------------------------

Melody of WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang