Tiga "Hati yang Terpaut."

5.6K 205 5
                                    

Malam kembali menyapa, hembusan angin membelai halus sehalus sutra. Bulan menampakan diri dengan keindahannya. Jam menunjukkan pukul dua malam. Sepasang mata bening itu masih enggan tertutup, kantuk pun tak kunjung menghampirinya. Faizah bangun dari tempat tidur, beranjak menuju jendela dan membukanya, aroma bunga kamboja menghias hidungnya. Faizah menyandarkan diri dibingkai jendela, kedua tangannya menopang dagu halusnya.

Dimalam ini, gelisah kembali menghampirinya ketika ia mengingat pristiwa tadi siang, disaat ia berkumpul bersama adik-adik binaannya. Wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang selalu menghias hari-harinya, baik dikampus maupun di tempat lain. Mereka sering bersama. Hingga ikatan jiwa itu tertanam dalam hatinya begitu erat. Kini, galaupun kian merasuk dalam jiwanya. Tak terasa butiran bening itu akhirnya mengalir juga dari mata yang selalu terhias kacamatanya. Namun, saat ini ia tak menggunakannya, hingga mata bening itu jelas terlihat berbinar tajam dikelubuti butiran-butiran bening.

Hatinya semakin gelisah ketika perkataan-perkataan adik-adik binaannya kembali terngiang ditelinganya. Mereka begitu membanggakan dan begitu hormat padanya. Tiap arahan ia berikan, selalu mereka laksanakan dengan baik. Akan tetapi, ia tak merasakan hal yang sama, tiap langkah yang ia kerjakan justru mendatangkan perasaan bersalah yang teramat dalam. Tiap amanah yang ditipkan padanya seakan tak terlaksana secara jelas. Lalu pantaskah ia dibanggakan oleh orang-orang tercintanya.

Malam kian larut, butiran bening seakan enggan berlari dari mata beningnya. Faizah kian gelisah dengan keadaannya. Apa lagi jika perasaan itu berhadir menyelimutinya. Jika persaan itu muncul, setegar apapun, sekuat apapun, ia akan jatuh. Ini lah sisi kelemahan Faizah, namun sejauh ini tak ada satupun yang mengetahui perasaannya. Faizah begitu rapat terhadap hatinya, tak ada satupun yang dapat menyingkap mesteri hatinya.

Tapi ia sadar mungkin ini cara Allah mendidik dia untuk mampu menjadi mujahidah dambaan tiap insan yang merindu Allah. Namun, ini tetap menyiksa dia. Bagaimana tidak. Lingkaran yang ia geluti tak penah jauh dari seorang dia. Hingga kadang nafas pun sesak. Terkadang rasa menyerah pun menghinggapinya. Tapi sadarnya pun kian menghias, ia teladan yang dicontoh. Maka ia harus mampu melawan rasa itu. Memberikan contoh, beginilah bersikap sesungguhnya.

Air mata itu semakin tumbah membasahi pipi merahnya, tatkala sebuah kalimat terlintas dikepalanya. Sebuah kalimat yang diutarakan oleh ustadzahnya, "dek, jika ada yang mengkhitbahmu saat ini, apakah dedek bersedia?" Tanya itu menghujam jiwanya. Tak ada jawab yang mampu ia urai. Yang ada hanya senyum pahit yang dipaksakan untuk menutup isi hati yang sesungguhnya ia rasakan.

"duh Allah, menikah?? Siapkah hamba ya Allah?? Bukan siap atau tidak siap ya Allah, tapi hati ini?? Hati ini masih belum bersih, hati ini belum bisa lepas dari rasa itu, hati ini masih terpaut olehnya seorang. Allah. . ." rintihnya dalam hati

Dibalik celah pintu, seorang telah lama mengamati gelisah Faizah. Fadhil terenyuh dengan keadaan sang kaka. Fadhil tau betul apa yang telah membuat gelisah Faizah malam ini, hatinya semakin teriris ketika melihat butir-butir bening itu membasahi pipi orang terkasihnya. Perlahan ia menutup pintu kamar sang kaka, ia beranjak dengan nafas yang kian menyesak dadanya. Fadhil bisa merasakan apa yang dirasakan sang kaka saat ini, melawan rasa yang tumbuh demi kesucian cinta karena-Nya. Berusaha meredam rasa nyeri demi redho sang Pemilik cinta sesungguhnya. "Rabb, Engkau maha pemilik cinta itu. Engkau maha penjaga hati yang rapuh. Ini kah cara-Mu mendidik Mba Faizah untuk menjadi mujahidah yang tegar? Jika ini cara-Mu, tegarkan lebih dia ya Allah. Dia kaka hamba, dia ibu bagi hamba, dia sahabat bagi hamba, dia tempat hati ini berbagi. Dia orang terkasih hamba ya Allah. Kuatkan mba ya Allah." Butir bening mengalir disudut mata teduh itu menetesi foto yang ia pandangi. Foto ia bersama Faizah dan Fuad, dua insan yang telah menyatu dalam dirinya.

{{{{{{{

Di sudut ruang nan tenang, Fuad duduk di ujung sofa menghadap jendela. Bulan bersinar anggun. Hembusan angin membelai halus wajuh lembut Fuad. "Ad, ada seorang ikhwan yang baik perangainya, dia berniat mengkhitbah adik antum Faizah. Menurut antum, Faizah siap?" Tanya ustadz Yusuf disela-sela cengkarama mereka dua hari yang lalu. "Siapakah dia, ust?" sahut Fuad sambil meneguk secangkir kopi hangat.

Izinkan Aku Mengkhitbahmu dengan KeislamankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang