Empat "Untukmu Sahabat, aku Rela terluka"

5.3K 246 12
                                    

Suasana memanas, Faizah tertegun saat ia menyadari siapa yang menamparnya. Semua yang ada di rumah ustadz Yusuf terdiam tak berkata. Diluar akal sehat. Seorang adik binaan mampu menampar sang kaka yang selama ini membimbingnya. Apa lagi setelah mereka sadar alasan dia melakukan itu dikarenakan dia cemburu atas kedekatan Faizah dengan Adnan.
Woi. . .!! dekat?? Sejak kapan!
Ustadz Yusuf tertegun mendengar penjelasan dari Maulida tentang alasan itu. Beliau sadar betul bagaimana Faizah bersikap ketika berhadapan dengan Adnan. Sikap acuh dan wajar terus di lihatkan Faizah agar tak ada satu pun yang meraba perasaan Faizah.
"Cemburu?" ucap ustadz Yusuf
"iya ustadz. De Hany itu cemburu. Karna biasanya ka Adnan itu kan kalau ada apa-apa menjelaskannya ke mba Faizah masalah pengurus." Jawab Maulida Polos
"iya wajar aja kan kalau Adnan menjelaskannya ke Faizah. Kan Faizah yang bertanggung jawab atas pengurus ISC." Sahut Akh Hasan
"Ya semua itu akan biasa, kalau yang memandang hal itu tidak ada perasaan." Sambung ustadzah Husna
"Maksudnya?" sahut akh Hasan bingung
"Cinta berbicara akh. Semua tidak menjadi wajar." Sahut ustadz Yusuf
"Jadi Faizah harus bagaimana?" Tanya Faizah lirih
"Tenang saja Faizah, semuanya akan terjawab Ahad depan."
"Maksudnya, ustadz?" Tanya mereka serempak
"Adnan akan menikah ahad depan." Sahut Akh Hasan
Deg! Gemuruh hati Faiza bergejolak. Namun, ia berusaha setenang mungkin didepan ade-ade yang hadir hari itu. "Alhamdulillah." Hanya itu yang mampu terurai dari bibirnya.
"Iya, Akh Adnan akan menikah ahad depan dengan ukty kita, ukh Nania." Sahut ustadz Yusuf dengan suara datar sambil memandang Faizah
"barakallah, Alhamdulillah. Akhirnya Faizah bisa keluar dari cemburunya de Hany." Sahut Faizah dengan senyum "dan semoga mereka pasangan yang bahagia dunia dan akhirat. Sungguh mereka sangat serasi. Betul tidak ade-ade?" sambung Faizah sambil mencairkan suasana dan disambut gemuruh bahagia ole hade-ade yang lainnya. Namun dari lubuk hati terdalam Faizah hancur berkeping-keping. Nania, sahabat sejak di bangku SMA, Nania yang sebenarnya tau seluruh isi perasaan hatinya, kini akan bersanding dengan yang pernah mengisi hatinya. Sungguh hancur dan lebur tak mampu terungkap dalam kata.
(((((((
Faizah menghempaskan badannya ketempat tidur, butiran bening mengalir deras. Sungguh ia tak mampu membendung hatinya yang terluka. Perlahan isak tangispun terurai. "Na, kau orang yang terdekat denganku, kau orang yang paling tau tentang perasaanku akan dia. Na, aku sering mencurahkan semua isi hatiku denganmu. Kini. . .? kau akan bersanding dengannya? Allah, bukannya aku tak menerima segala keputusan Engkau, tapi kenapa harus dia? Dia saudaraku dalam lingkaran ini, dia yang tau akan isi hati ini? Allah kenapa harus dia?" tangisnya semakin jadi
"Zah?" panggil lembut seorang. Faizah berusaha mengingat betul akan lembut suara itu. Dengan isak tangis yang masih mendera, faizah berusa bangkit dari tempat tidurnya dan menatap kearah sumber suara. Sejenak mereka saling berpandangan. Faizah yang telah sadar siapa yang ada dihadapannya segera menghempaskan tubuhnya dalam pelukannya. Tangis faizah pun pecah dalam hangat pelukan seorang.
"Kaffi, laa tabky akthar min hadzi. Kaka ngerti apa yang ade rasakan." Ucapnya
"kaka?" ucap faizah lirih sambil menatap teduh mata sosok seorang yang dipeluknya erat. "ka Aliya tau kalau mereka akan menikah?" lanjut faizah sambil duduk ditepi tempat tidur dengan air mata yang masih mengalir.
"kaka baru terima kabar ini tadi pagi, saat menerima kabar ini, kaka langsung kefikiran ade. Memang sulit menerima kenyataan ini sayang." Ucap Aliya sambil memandangi wajah Faizah yang sembab
"sayang, bukannya dulu kamu pernah bilang, kalau kamu sudah siapkan diri jika beliau menikah?" Faizah tertunduk diam dengan pertanyaan yang dilontarkan Aliya
"iya, faizah memang menyiapkan diri ka. Tapi tak pernah sedikitpun faizah menyiapakan diri jika yang menjadi istri beliau adalah Nania. Yah, Nania... orang yang sering menjadi tempat faizah berbagi cerita hati ini. Yah, Nania yang sebenarnya dia paling tau akan isi hati ini terhadap beliau. Ka, kenapa Nania tak memberi tahu faizah sedikitpun akan ini? Bahkan hingga detik ini dia tak ada hubungi faizah, kenapa ka?" Tanya faizah membuat Aliya terdiam. Aliya berada pada posisi serba salah. Aliya tau diamnya Nania adalah untuk tidak melukai Faizah, dan ia pun tau saat ini Faizah terluka dengan diamnya Nania. Memang, seharusnya Nania menerima sarannya untuk berterus terang dari awal agar tidak terluka lebih dalam. Yah, faizah memang sosok yang kuat. Namun dia seorang perempuan yang tentu dia juga rapuh. Oh Nania, seandainya kau tak sekeras itu tentu tidak akan seperti ini.
"Ka, kami memiliki janji bersama. Siapa diantara kami yang lebih awal menikah, maka yang belum menikah akan menginap di malam pernikahannya, membaca surah al-baqarah bersama. Sekarang apa yang harus Faizah lakukan?"
"Zah, jika kau tak sanggup memenuhi janji itu, kamu bisa untuk tidak hadir malam itu. Nania pasti akan memahaminya." Sahut Aliya sambil memandangi wajah faizah yang tertunduk menahan isak tangis. "Allah, perih yang dirasakan oleh faizah, dapat kurasakan sepenuhnya. Jika aku dalam posisinya, mampukah aku sekuat dia?" gemuruh hati Aliya

Malam itu berlalu sangat panjang, tak sekedippun Faizah mampu menutup matanya. Semenjak kaka sepupunya Aliya pamit pulang faizah mengunci dirinya dalam kamar. Tenggelam dalam tangisnya, tenggelam dalam jiwanya yang gamang akan kenyataan yang ia terima. Sanggupkah ia hadir di malam itu demi Nania saudara dalam perjuangan ini? Sanggupkah ia ingkari janji itu demi hatinya yang terluka? Semua kegelisahan itu membuat malamnya semakin panjang. Butiran bening tak hentinya mengalir dari sudut mata beningnya.
Denting jam berbunyi tiga kali, menunjukkan pukul tiga malam. Dengan sekuat jiwa Faizah berusaha bangkit mengambil air wudhu. Air wudhu yang mengalir membasahi wajahnya mampu memberikan secerca kekuatan untuknya agar kokoh berdiri menghadap sang Ilahi. Rakaat demi rakaat ia laksanakan demi mengusir kegamangan dalam jiwanya. Pada sujut terakhir ia tak mampu menahan tangisnya, dalam sujud ia adukan semuanya pada pemilik hati sesungguhnya. Ia sandarkan jiwanya yang lemah pada sang Khaliq. Usai sholat, ia raih mushaf kecil berwarna hijau, ia buka lembar demi lembar ia baca ayat demi ayat. Butiran bening terus mengalir membasahi pipinya. Pilu sungguh pilu, namun ditengah kepedihan itu terbersit rasa syukur yang mendalam akhirnya ia bisa keluar dari zona perasaannya yang terpaut pada sosok seorang Adnan. Kini perlahan hatinya mulai lega. Suara adzan subuh membangkitkannya dari tenggelamnya bersama samudra keindahan ayat-ayat Allah. Ia pun segera memperbarui wudhunya dan segera berlari menghadap sang Ilahi.

Izinkan Aku Mengkhitbahmu dengan KeislamankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang