This Is How We Meet

9.3K 140 21
                                    

Selasa, 27 Maret 2012

Menjadi anak tunggal seorang direktur perusahaan bukanlah hal yang mudah. Itu yang kurasakan sekarang.

Aku memandang diriku dengan gaun berwarna putih ada mahkota kecil berada di atas kepalaku. Sekarang yang kulihat bukanlah aku yang biasa memakai celana jeans dan rompi. Hidupku benar-benar menyedihkan. Setelah Ayah meninggal, ia memberika seluruh kuasanya terhadap Tuan Romeo Snowind, sahabat satu-satunya yang ia miliki. Ayah juga memberikan wasiat kepada Tuan Snowind untuk menikahkanku dengan anaknya.

Dan di sinilah aku sekarang, menikah dengan orang yang sama sekali tak kuketahui. Entah seperti apa rupanya, sifatnya, dan suaranya, sampai sekarang aku tak tahu. Yang aku tahu, ia menjadi eksekutif muda di kantor Ayah saking jeniusnya. Apakah tak terlihat aneh jika aku, seorang mahasiswi yang bahkan belum berumur lebih dari dua puluh tahun menikah dengan seorang eksekutif muda. Ya, aku tahu ini memang masalah bisnis dan pribadi. Tapi bagaimana jika ia tak menyukaiku? Siapa tahu ia memiliki kekasih atau yang lainnya, tapi kenapa ia tak ingin menolak?

“Ah, anak perempuanku tumbuh menjadi gadis yang cantik. Lihat, kau tampak seperti ratu dalam baju pengantin ini. Harusnya Huston melihatmu.” Tiba-tiba Ibu berada di sampingku dan memelukku.

Aku hanya bisa tersenyum, “Ia pasti akan bangga melihatku, Ibu.”

“Ya, pasti Huston sahabatku bangga padamu, Nak. Kau benar-benar cantik hari ini. Jika aku menjadi Huston, aku pasti susah merelakanmu.”

“Tak usah berlebihan, Tuan Snowind.”

“Jangan memanggilku begitu, mulai hari ini, kau akan menjadi anakku juga. Jadi panggil saja aku Papa.” Pria tua yang baik itu tersenyum. Tapi aku tetap tak bisa menahan kegundahanku.

“Baiklah, Tu... maksudku, Papa.”

“Hahaha... lebih baik didengar daripada yang tadi. Kalau begitu, aku permisi dulu. Mungkin kau butuh waktu bersama ibumu.” Tuan Snowind (Papa, sekarang sebutan itu terasa aneh) menutup pintu. Terjadi kesunyian sesaat antara aku dan ibu. 

Ini terlalu cepat, kelewat cepat malahan, bagi diriku untuk menjadi seorang istri lalu memliki anak dan menjadi seorang ibu. Aku masih ingin menikmati masa mudaku, tapi bagaimanapun juga ini sudah menjadi wasiat ayah, aku sangat menghormati dan menyayanginya, tak mungkin aku membantahnya (terlebih, ia sudah meninggal).

“Mungkin kau butuh waktu sendiri untuk mempersiapkan dirimu, Tyas. Ibu tinggal dulu ya, jangan lupa, pakai tudung itu saat kau keluar nanti.”

“Ya, Bu.”

Aku melihat lagi pantulan diriku di cermin. Sekarang aku merasa seperti orang bodoh yang memakai gaun berwarna putih ini. Bukan model rok yang mengembang, karena aku benci berepot ria, tapi bagian bawah yang memanjang ini membuatku keberatan dibagian belakang.

‘Hei, kenapa kau tak kabur saja?’

Bagus, paranoid skiofreniaku muncul lagi. Sekarang yang ada di hadapanku adalah seorang gadis dengan memakai gaun  pengantin dengan lengan balon, bagian roknya mengembang. Rambutnya berwarna pirang kecoklatan, matanya berwarna abu-abu. Wajahnya bisa dibilang unik, tapi masih tetap terlihat cantik. Mahkota yang ia kenakan terlihat memberatkan kepalanya. Terlihat lucu, tapi aku tak ingin menyinggungnya.

Our WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang