Can't Hate You, Stupid!

8K 111 25
                                    

“Tyas, cepat katakan kau membenciku!”

“Apa katamu?”

“Cepat katakan! Kau membenciku, kan?!”

Aku membelakkan mataku. “Richard? Kau sakit? Memangnya kenapa aku harus mengatakan aku membencimu?”

“Karena aku ingin menceraikanmu!”

***

Aku terbangun dengan napas terengah-engah, lalu aku melihat sekelilingku. Richard masih tidur dengan tenang di sebelahku. Tadi benar-benar mimpi yang menyeramkan, rasanya benar-benar nyata. Aku mengamati wajah imutnya, apa mungkin orang seimut ia bisa melakukan hal sekejam tadi? Ah, padahal hanya mimpi, tapi kenapa dadaku masih terasa sesak seperti ini? Lebih baik aku mengambil minum dulu, baru melanjutkan tidur (atau mungkin aku tak akan melanjutkan tidurku).

Baru saja menyeduh teh yang akan kuminum, tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang. Kebiasaan Richard yang tak bisa hilang, tapi kalau ia menghilangkan kebiasaannya yang ini, aku pasti akan merasakan kesepian.

“Kenapa kau bisa sampai di sini?” ucapku sambil memberikan sedikit gula pada tehku. Ya, aku takut terkena kolesterol, tapi aku tetap tak bisa berhenti makan yang manis-manis.

“Tiga menit yang lalu aku ingin memelukmu... Hoahm,” ia berhenti sebentar. Dasar bocah, sudah tahu ia lelah dan ngantuk, masih saja sempat bangun. “Tapi kau tak ada di tempat. Makanya aku bangun lalu mencarimu. Sekarang keinginanku memelukmu sudah terpenuhi. Hoahm...”

“Kalau sudah terpenuhi, kenapa kau tak kembali lagi ke tempat tidurmu? Dasar mengganggu.” Jawabku dengan nada ketus. Oke, aku lakukan itu agar ia mau kembali tidur. Bukan maksud yang lainnya.

“Kau yakin aku mengganggumu? Bukannya kau malah senang aku ada di sini? Kau kan penakut.”

Oke, yang tadi benar-benar menusuk.

“Ah, sudahlah. Kau lebih baik tidur. Besok kau masih kerja, tak mungkin kau datang ke kantor dalam keadaan mengantuk. Sana, cepat kembali.” Aku melepaskan pelukannya dan meminum tehku sampai habis.

Kukira ia sudah kembali ke kamar, ternyata aku benar-benar salah. Ia langsung menggendongku ala pengantin (kalian bisa bayangkan itu) sambil tersenyum licik. Lalu ia membawaku sampai ke kamar. Ia menurunkanku di atas tempat tidur, dan ia memelukku (lagi). Ah, dasar bocah aneh. Tadi kan ia sudah memelukku, tapi kenapa masih saja melakukan itu lagi? Memangnya ia tak bosan selalu memelukku?

“Richard...”

“Apa?”

“Kau tak bosan memelukku hampir tiap hari?”

“Bukan hampir, Tyas. Tapi selalu, aku selalu memelukmu setiap hari. Aku tak bosan memelukmu, tenang saja.” Ia memelukku makin erat.

“Kenapa tak bosan? Kau melakukannya sangat sering. Sehari bisa lebih dari lima kali kau memelukku.” Tanyaku sambil mendengus kesal.

“Badanmu sangat enak untuk kupeluk.” Ia merenggangkan pelukannya, lalu menatapku dengan tatapan mesum beserta senyum liciknya. “Bagaimana kalau kita melakukan ‘itu’ sekarang? Bukannya kau ingin memiliki anak? Stephanie saja sampai ingin kau jadikan anak angkat.”

Aku memelototinya, “Apa katamu? Dasar mesum! Tentu saja aku tak mau! Aku ingin mengangkat Stephanie sebagai anak angkat karena kau tak mengizinkanku mengangkatnya sebagai adik. Dan juga, alasanku untuk mengangkatnya menjadi adik adalah ia terlalu imut, seperti boneka. Aku ingin punya adik atau anak seperti boneka...”

“Kalau begitu, ayo kita buat saja!” nadanya membuatku merasa terancam. Sial, ia malah memperat pelukannya, bagaimana aku bisa kabur darinya?

“Richaaaaaaaaaaard... sesaaaaaaakk!” aku memukul tubuhnya dengan keras, ia baru mau melepasku. Ia lalu membalikkan badan membelakangiku. Eh, dia marah?

Our WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang