"Mommy, Antonio dan Luigi berkelahi lagi," aku terkikik geli mengamati pergulatan bodyguard kami di halaman belakang dari jendela kamarku di lantai dua. Mereka gemar bercanda seperti itu, meskipun tak jarang berubah menjadi pertarungan serius.
"Mengapa kau justru terhibur menyaksikan tingkah mereka?" Mommy yang tengah mengambil rok tutu pink milikku dari lemari, berkacak pinggang dan mengerutkan kening. "Menjauh dari jendela itu, Phoebe."
Tidak ingin membuat Mommy kesal, aku pun segera menurut, duduk manis di depan meja rias seperti yang ia inginkan. "Apa Daddy akan mengunjungi kita hari ini?" Kuamati perubahan ekspresi Mommy lewat pantulan cermin oval berhias tempelan bunga kertas warna-warni hasil kerajinan tanganku yang payah.
"Mungkin tidak. Ayahmu sibuk, tapi dia berjanji pasti akan datang merayakan ulangtahun ke-tujuhmu minggu depan." Belakangan ini Mommy tidak pernah lagi tersenyum setiap kali membicarakan Daddy.
"Apa Mommy sudah tidak menyukai Daddy?" Salah satu temanku di kursus balet bilang orangtuanya sudah tidak menyukai satu sama lain lagi, karena itu mereka berpisah. Aku tidak mau Mommy dan Daddy berpisah.
Sepasang mata hijau pucat Mommy melebar terkejut, namun ia tidak memberi jawaban atau komentar apa pun. Ia terus diam selama menggelung rambut cokelat tebal dan panjangku di puncak kepala. Baru ketika aku akan mengulang pertanyaan tersebut, Mommy akhirnya bersuara.
"Seandainya bisa, keadaan pasti akan lebih mudah."
"Apa maksudnya?"
Menunduk, Mommy mengecup keningku. "Kau akan mengerti setelah dewasa nanti. Sekarang, kita harus segera pergi. Kau tidak boleh terlambat."
Meloncat-loncat sambil berpegangan pada barre, aku mengulum senyum mengingat pujian Ms Cowell tadi. Menurutnya posturku sudah semakin bagus, dan bila terus rajin berlatih aku pasti bisa menjadi balerina hebat setelah besar nanti. Daddy akan senang dan memujiku bila mendengarnya. Aku juga tidak sabar ingin memamerkan gerakan baru yang kupelajari hari ini pada Antonio dan Luigi yang sedang menungguku dan Mommy di mobil.
Kursus telah berakhir sekitar lima menit lalu, tapi Mommy menyuruhku menunggu sebentar di kelas karena perlu membahas urusan penting bersama Mr Levins, pemilik studio balet ini. Aku tidak suka pada Mr Levins, menurutku dia menyukai Mommy--walaupun Mommy bilang itu tidak benar, dan Mr Levins hanya bersikap ramah karena mereka teman semasa kuliah.
Mungkin aku akan tetap bersabar menunggu Mommy di kelas kosong itu sendirian, bila bukan karena telepon Daddy--aku menerimanya dari ponsel Mommy--yang mengabarkan dia sedang dalam perjalanan, hendak menjemputku di tempat kursus. Dengan tidak sabar aku berlari ke ujung koridor, menuju ruang kerja Mr Levins, ingin segera menyampaikan kabar gembira ini pada Mommy.
Dari celah pintu yang tak tertutup rapat, aku melihat Mr Levins duduk di ujung meja kerjanya, membungkuk ke arah Mommy, menyentuh seuntai rambut pirang platina Mommy dengan mesra. Aku tidak terlalu memahami pembicaraan mereka, tetapi dari beberapa yang kutangkap, Mr Levins mencoba membujuk Mommy agar segera meninggalkan Daddy demi kebaikannya sendiri dan juga diriku.
Kedua tanganku mengepal erat, dadaku terasa seakan terbakar. Dorongan untuk menghancurkan sesuatu dan menyakiti Mr Levins semakin lama semakin kuat. Mommy selalu menghukumku setiap kali menunjukkan kecenderungan berlaku kasar, tetapi kali ini aku tidak peduli. Mommy hanyalah milik Daddy! Mr Levins tidak boleh membuat mereka berpisah!
"Tunggulah di sini, Pricipessa." Telapak tangan besar dan berat menangkap bahuku sebelum aku sempat menghambur masuk ke ruangan itu.
"Daddy!" seruku gembira dan lega, menengadah menatap sosok mengesankan ayahku yang bertubuh tinggi besar. Daddy tidak akan membiarkan Mr Levins berhasil merebut Mommy.
"Salvatore!" Mommy terperangah kaget.
"Mr Berlusconi! Su-suatu kehormatan dapat bertemu langsung dengan Anda." Mr Levins meloncat mundur, sejauh-jauhnya dari Daddy. Wajah pucat pasi dan tubuh gemetar, reaksi serupa dengan yang beberapa kali kulihat dari orang-orang yang membuat Daddy gusar. Senyumku mengembang. Mommy akan sangat marah bila tahu aku menikmati rasa takut orang menyebalkan seperti Mr Levins.
Mendadak Antonio dan Luigi sudah berada di sisiku, bersama dua pria lain bersetelan serba hitam yang biasa mengawal Daddy. "Ayo kita tunggu di mobil, Phoebe," ajak Luigi. Tentu saja aku menolak dibawa pergi. Tidak sebelum Daddy menghukum Mr Levins.
"Daddy, Mr Levins menyuruh Mommy meninggalkanmu."
"Phoebe!" hardikan Mommy membuatku mengernyit takut meski hanya sejenak. Daddy tidak akan membiarkan aku dihukum hanya karena mengadukan kenyataan.
"Phoebe pasti salah paham, Mr Berlusconi!" sanggah Mr Levins. "Aku tidak--"
Sebelum berhasil menyelesaikan sangkalannya, kepalan tinju besar Daddy lebih dulu membungkam mulut Mr Levins. Mommy berlari ke arahku, menghalangi arah pandangku dari apa yang biasa ia sebut sebagai "kebengisan" Daddy.
Senyumku melebar seiring tiap langkah Mommy menyeretku pergi. Aku mungkin tidak melihat hukuman yang diberikan Daddy pada Mr Levins secara langsung, tetapi jerit kesakitan dan rengek permohonan pria itu sudah cukup memuaskan untuk didengar.
Gadis baik tidak akan merasa sesenang ini mengetahui orang lain menderita, tetapi seperti yang dikeluhkan Mommy nyaris setiap hari; aku memang putri ayahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinfully Obsessed
RomanceLove me or hate me, both are in my favor. If you love me, I'll always be in your heart. If you hate me, I'll always be in your mind. - Anonymous - Cinta tak pernah mudah, sedangkan benci tak selalu sederhana. Phoebe Chambers tidak pernah menyangka...