"Jadi..." Juliette mengawasiku menggigit potongan besar pizza pepperoni sembari menyeruput pepsi-nya. "apa yang mengganggu pikiranmu?"
"Mengapa kau pikir ada yang menggangguku?" aku balik bertanya usai menelan habis kunyahan. Bila Sammy dan Juliette bisa membaca pikiran, aku yakin mereka akan menganggapku gila karena merasakan sesuatu terhadap Kingsbury.
Aku sendiri pun merasa sudah gila.
Dengusan Sammy menarik kerlinganku ke arahnya. "Kau membatalkan rencana belanja kita khusus untuk pizza yang biasanya diancam pun tidak mau kau santap," menggigit sepotong besar sosis, ia menatapku penuh arti. "kecuali sedang kalut, kau tak pernah mau datang ke kawasan ini." Tidak sepertiku, Sammy merasa tak bermasalah bicara dalam keadaan mulut penuh makanan.
Semenjak kabur dari Miami, terutama setelah kematian Mommy, aku berusaha menjauh dari segala hal yang berhubungan dengan Italia. Konyolnya, betapa pun keras usahaku menjauh, satu-satunya cara ampuh menghilangkan kegelisahan setiap kalinya hanyalah dengan kembali pada akar Italiaku.
Cukup merasakan masakan dan mendengar obrolan dalam bahasa Daddy, serta merta dadaku terasa lebih lapang, pikiranku menjadi jernih, dan yang terpenting... aku merasa aman. Seolah-olah Daddy masih berada di sisiku, menjagaku dari dunia.
"Sebenarnya kita juga bisa menemukan pizza di mall tanpa perlu datang kemari," kata Juliette, sepasang mata biru kehijauannya menyelidikku.
"Tapi tak selezat pizza di sini," komentar Sammy, sibuk mengunyah.
"Tempat ini membangkitkan kenangan masa kecilku." Aku jarang membuka diri mengenai kehidupan lamaku di Miami, dan bersyukur baik Sammy maupun Juliette tidak pernah mendesakku untuk bercerita lebih banyak. Aku belum siap.
Dekorasi dan suasana Santarpio's, pizzeria klasik paling terkenal di Boston ini, mirip dengan restoran di mana dulu Daddy selalu membawaku pada hari minggu. Seingatku Antonio pernah menjelaskan bahwa restoran tersebut merupakan satu dari sekian banyak yang berada dalam wilayah kekuasaan Daddy; salah satu yang menerima perlindungannya, karena itu kami selalu dilayani bak keluarga kerajaan.
Potongan memori berupa seringai lebar Antonio dan Luigi saat mengajariku bersepeda menyebabkan aku terbatuk keras, tersedak oleh pizza yang mengganjal di tenggorokanku yang mendadak tercekat. Sekuat tenaga aku berusaha menghalau ingatan mengenai mereka; dua pria berwatak keras yang selalu bersikap lembut padaku, yang telah kuanggap sebagai paman, yang bersedia mengorbankan nyawa mereka demi diriku...
Gemetar mengguncang tubuhku saat ingatan terakhir atas diri mereka mulai mengintip dari balik brankas yang telah terkunci rapat di sudut terjauh benakku.
"Ada apa?" Sammy membuat gerakan memukul yang diselingi elusan pada punggungku, berusaha meredakan batuk serta gemetarku. "Minum!" Dengan tegas ia mendorong segelas air mineral ke mulutku. "Lagi!"
Usai menghabiskan air dalam gelas, aku bergegas bangkit dari booth kayu tempat kami duduk. "Ayo pergi." Tanpa menunggu mereka bereaksi, aku lebih dulu berderap keluar dari Santarpio's. Tumit rendah sepatu Mary Jean-ku menimbulkan bunyi berisik di lantai terakota restoran tersebut, seirama gemuruh dalam dadaku.
Berdiri di trotoar di luar bangunan tingkat tiga berdinding kayu Santarpio's, aku sedang berusaha mengatur pernapasanku kembali normal, mana kala keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak balita memasuki restoran yang baru saja kutinggalkan, mengobrol riang gembira dalam bahasa Daddy,
Didominasi banyak imigran, terutama yang berasal dari Italia, East Boston adalah lingkungan yang selama bertahun-tahun ini kujauhi, sekaligus tempat pelarianku ketika menghadapi masalah. Namun hari ini, bukannya menghilangkan masalah, aku justru menarik keluar masalah lama yang jauh lebih mengerikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinfully Obsessed
RomanceLove me or hate me, both are in my favor. If you love me, I'll always be in your heart. If you hate me, I'll always be in your mind. - Anonymous - Cinta tak pernah mudah, sedangkan benci tak selalu sederhana. Phoebe Chambers tidak pernah menyangka...