8 tahun kemudian...
Membasuh muka, kubiarkan bulir-bulir air menetes membasahi kerah kaku kemeja putih seragam sekolahku tanpa buru-buru mengelapnya, terlalu sibuk memelototi pantulan diriku sendiri di cermin.
Mengapa rambutku harus berwarna cokelat gelap dan bergelombang, bukannya pirang lurus seperti Mommy? Mengapa tubuhku tidak semungil dia? Mengapa iris mataku harus berwarna hazel dan bukannya sehijau batu giok? Mengapa keseluruhan diriku menjeritkan kekelaman yang kuwarisi dari Daddy? Mengapa tidak ada jejak Mommy pada penampilanku?
Apakah ini tandanya tidak ada setetes pun kemurnian dalam jiwaku?
"Berjanjilah padaku, bahwa kau akan tumbuh menjadi gadis baik, Phoebe."
Tidak sedetik pun kulewatkan tanpa terngiang pesan Mommy di saat-saat terakhir hidupnya.
"Mungkin di kemudian hari aku tak akan ada lagi untuk mendampingi dan mengingatkanmu setiap waktu, tetapi kuharap kau tidak akan pernah melupakan semua ajaranku."
Tidak ada yang lebih kuinginkan selain berhasil memenuhi permintaannya. Membuat dia tersenyum bangga dari surga, melihatku tumbuh persis seperti yang ia harapkan. Menjadi seorang lady layaknya Mommy.
"Aku percaya kau dapat melakukannya, sebab kau juga putriku."
Aku sudah berusaha, Mommy... tetapi semakin hari, aku takut bahwa pengaruh Daddy terlalu kuat. Aku terlalu mirip dirinya.
"Phoebe, tolong suruh Sammy berhenti mencoba merusak moralku!" Juliette, salah satu sahabatku, membuka pintu toilet wanita di mana aku sedang menyendiri.
"Memangnya apa yang kulakukan?" Sammy, sahabatku yang lain, mengekor dibelakang Juliette. "Aku sekedar berkomentar kalau Miroslav Robocop tampak sangat ingin menjadikan Juliette sebagai makanan penutupnya di kafetaria tadi."
"Namanya Rybolovlev, bukan Robocop," koreksi Juiette. "Dan dia hanya melirikku sepintas, kau saja yang melebih-lebihkan."
Mengedikkan bahu, rambut ikal pirang sewarna pasir Sammy berayun di balik punggungnya. "Siapa punya waktu menghapal nama serumit itu? Asal tahu saja, aku bisa membaca pikiran si raksasa itu sejelas melihat matahari. Dia ingin meraba tubuh beliamu yang suci, mempelajari beragam titik tersembunyi, juga mencicipi manis--"
"Aku tidak mau dengar!" jerit Juliette seraya menutup kuping. Wajah polos sahabatku itu merona semerah warna rambutnya.
Perdebatan mereka otomatis memunculkan kekeh geliku. "Sammy, hentikan," leraiku. Ya, sekarang aku, Phoebe Chambers, adalah seorang pecinta damai berbudi luhur, tipe gadis tetangga yang dipercayai para orangtua menjadi teman bagi anak-anak mereka. Tidak seperti dulu. "Kau bisa menyebabkan Juliette trauma dan menolak menikah."
"Bila begitu saja membuatnya trauma, tidak bisa kubayangkan bagaimana dia akan bereaksi mendengar cerita proses melahirkan," komentar Sammy acuh tak acuh.
"Oh, please. Usia kita lima belas bukannya dua puluh lima, tidak bisakah kita membahas unicorn saja?" protes Juliette.
Mereka berdua terus beradu mulut setelah meninggalkan toilet, sementara aku berperan sebagai pendengar dan teman penyabar. Kami melenggang santai melintasi koridor panjang Hawthorne Exemplar Academy yang disesaki para murid dengan variasi seragam yang diijinkan sekolah; kemeja putih lengan panjang atau pendek--sesuai selera masing-masing, rok hijau bermotif kotak-kotak hitam bagi gadis dan celana panjang hijau gelap polos bagi pria, dipadankan dengan dasi serasi serta sweater hijau atau blazer hitam berlambang HEA.
Sebenarnya aku sangat ingin mencoba mengenakan kemeja lengan pendek tanpa dikekang dasi dan memendekkan rokku seperti Sammy, atau bahkan sekedar mencicipi sweater tipis HEA dan kaus kaki pendek layaknya Juliette. Namun berkat campur tangan seseorang, di hari terpanas di Boston--yang untung saja jarang terjadi--pun aku terpaksa harus terus mengenakan kemeja lengan panjang, blazer hitam tebal, rok yang panjangnya sedikit melewati lutut serta tights hitam yang membuat gerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinfully Obsessed
RomanceLove me or hate me, both are in my favor. If you love me, I'll always be in your heart. If you hate me, I'll always be in your mind. - Anonymous - Cinta tak pernah mudah, sedangkan benci tak selalu sederhana. Phoebe Chambers tidak pernah menyangka...