Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh/tempat/ merupakan suatu ketidaksengajaan. Cerita ini murni dari pemikiran saya dan di lindungi oleh undang-undang yang berlaku sebagai hak cipta milik. Bila ada unsur kesamaan alur/lattar itu berarti saya dan anda satu pemikiran. Wkwkwk.. tapi jelas itu tidak mungkin. Hehe
Di larang keras mencopy! (kayak ada yang minat aja.. :D)
Dan terima kasih untuk waktunya.
Happy Reading..
Ciizukkaa
Ardan menatap undangan di tangannya, undangan yang hampir saja mengubah statusnya sebagai bujangan. Undangan yang dulu menjadi impiannya dalam rumah tangga bersama orang yang sangat di cintai, tapi ternyata takdir berkata lain.takdir mengubah jalan hidupnya yang dulunya terang, kini seperti pengap tak ada udara segar yang melintasi hidupnya. Rasa sakit itu masih menancap terlalu dalam di hati terdalamnya.
Suara ketokan pintu membuyarkan lamunan Ardan, ia segera memasukkan undangan tersebut ke dalam laci meja kerjanya. Di kamarnya terdapat dua ruang, 1 ruang tempat tidur dan 1 ruang untuk ia bekerja. Tapi ruang kerjanya sekarang jarang di gunakan karena akhir-akhir ini ia lebih sering lembur di kantor dari pada di rumah.
Orang yang ada di balik pintu masuk setelah Ardan menyuruhnya masuk, ternyata ibunya. Astri duduk di sofa yang ada di dekat meja ruang kerjanya.
Ardan memutar kursinya menghadap ibunya, ardan mencoba tersenyum meski malah terlihat seperti ringisan. Senyum paksaan yang selalu ia perlihatkan 3 tahun terakhir ini dan itu membuat Astri sangat sedih melihatnya. Perlahan senyum buatannya hilang melihat ibunya yang justru meneteskan air mata, perlahan ardan membuka suaranya, "ada apa bun?"
Astri menepuk sofa di sebelahnya, menyuruh anaknya duduk di sisihnya. Ardan menurut, duduk di samping ibunya. Ardan menyandarkan kepalanya di bahu Astri, entah kenapa ia sangat lelah dan butuh sekali bahu untuk sekedar bersandar sejenak. Dan bahu ibunya adalah bahu ternyaman yang selalu memberi Ardan ketenangan. Bersama ibunya ia merasa tidak pernah sendiri, dan di bahunya seakan semua lelahnya sedikit berkurang. Hanya dengan bersandar di bahu ibunya, ia merasa sedikit beban hilang dari hidupnya. Ia tidak ingin membagi bebannya ataupun masalah pada ibunya lebih dari ini.
"Dan..terkadang orang tidak pernah sadar dengan apa yang di lakukan sekarang ternyata berakibat buruk untuk kehidupan kedepannya. Untuk berdiri memang butuh waktu, bahkan waktu yang lama.. tapi harus ingat juga, jangan menyi-nyiakan hidupmu hanya untuk berdiri yang tak pernah kamu mencobanya dari hati." Ucap Astri, pandangannya menerawang jauh ke belakang. Kejadian demi kejadian melintas di pikirannya, membuat air matanya semakin menetes. Tapi ia mencoba untuk menahannya di depan anaknya.
"sulit bun.." ucap Ardan jujur. Ia tahu, ibunya pasti tahu tentang dirinya. Bahkan mungkin sangat-sangat tahu.
Tangan kiri Astri mengelus puncak kepala anaknya penuh pengertian, "untuk bangkit setelah terjatuh itu memang sulit, tapi setiap kesulitan pasti ada jalan. Asalkan kamu mau mencobanya dan merelakan yang sudah pergi. Kamu pasti bisa melewati fase sulit itu."
"jalan mana yang harus Ardan pilih bun?" tanya Ardan frustasi, seakan jalan hidupnya sudah tidak ada yang menarik untuk di lewatinya. Hidupnya kelam, tidak berwarna secerah pelangi. Hanya ada warna hitam dan putih yang selalu ia rasakan. Hanya ada dua perasaan yang 4 tahun terakhir ini ia rasakan, rasa sakit dan kecewa selalu mendominasi harinya.
"jangan bersembunyi. Bukalah hatimu, dan jangan menutup dirimu sendiri. Biarkan orang lain mendekat ke arahmu, dan kamu jangan pernah menghindar darinya.." astri tersenyum prihatin kepada anak sulungnya. Malang sekali nasib anak pertamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL
RandomAlasan mengapa aku tidak ingin terikat adalah, rasa yang ku punya selalu berujung kecewa. Ardan Ferdinand