~•~
"Oh begitu", ujar kondektur manggut-manggut. "Ehm begini saja nyonya. Sekarang saya akan mencari anak nyonya dan nyonya silahkan tunggu di sini. Oh ya apakah nyonya yakin kalau anak nyonya sudah masuk ke dalam kereta ini?", Tanya pak kondektur.
"Saya yakin pak. Anak saya tak mungkin keluar lagi, karena ketika kami masuk, para penumpang yang lain juga masuk bahkan hingga berdesak-desakkan sehingga tak mungkin ia bisa keluar.", jelas nyonya itu.
"Oh ya, bagaimana ciri-ciri anak nyonya?"
"Hmm...anak saya memakai baju kemeja warna biru laut dan celana pendek warna hitam. Umurnya 10 tahun dan tingginya sekitar 150 cm. Ia berkaca mata dan rambutnya hitam lurus.", jawab nyonya itu.
"Ya...cukup jelas, kami pasti menemukannya", ujar sang kondektur meyakinkan nyonya itu.
Lima menit telah berlalu, namun si kondektur tadi tak juga kembali. Nyonya itu nampak masih gelisah sejak tadi, wajahnya memerah dipenuhi sejuta penyesalan.
"Maaf nyonya, mau permen?", ujarku seraya menyodorkan lima bungkus permen cokelat yang tadi kubeli dari pedagang kaki lima.
"Hmm maaf...terima kasih", ujarnya menolak.
"Tenang saja nyonya, tak perlu terlalu gelisah. Anak nyonya pasti ditemukan, mungkin saja dia tadi bingung dan tersesat di gerbong lain. Kereta ini kan hanya terdiri dari beberapa gerbong dan anak nyonya tak mungkin akan jauh-jauh pula dari sini', ujarku mencoba menenangkannya.
"Oh ya, tujuan nyonya mau kemana?"
"Hmm....saya mau ke Surabaya, ke rumah kakak ipar saya untuk mengabarkan suatu hal", jawab nyonya itu.
"Lalu suami anda...?"
"Dia baru saja wafat tiga hari yang lalu"
"Oh maaf nyonya...ehm saya turut berduka cita atas wafatnya suami nyonya."
Waktu pun telah berlalu dua jam lamanya. Hari kini mulai beranjak sore, kereta api delapan gerbong yang kini kunaiki mulai menembus senja. Obrolanku dengan nyonya ini semakin menarik saja, dan nampaknya si nyonya mulai melupakan anaknya yang belum juga ditemukan.
Saat ini aku mulai tahu banyak tentang nyonya itu. Ternyata yang duduk di bangku nomor 12 adalah anaknya dan yang duduk di bangku nomor 15 yang ada disebelahku adalah suaminya yang kini telah wafat semenjak tiga hari yang lalu. Suaminya adalah seorang polisi lokal. Ia wafat karena tertembak ketika terjadi baku tembak dengan para perampok bank tiga hari yang lalu. Semula mereka bertiga memang hendak liburan ke rumah Nenek anak semata wayangnya di Surabaya. Kematian sang Ayah pada mulanya membuat rencana kepergian Si Nyonya dibatalkan. Namun karena si Nyonya kemudian mendapat kabar bahwa ibundanya di kampung halaman sedang sakit keras, dan dengan pertimbangan tiket yang sudah dipesan, jadilah mereka berdua memaksakan diri pergi ke Surabaya meskipun masih dalam suasana duka.
"Maaf nyonya apa makanan favoritmu?", tanyaku.
"Hm...aku amat menyukai cokelat, suamiku dan anakku juga menyukainya. Cokelat sudah lama menjadi makanan favorit keluarga kami.", jawabnya. "Kalau anda Tuan?"
"Hmm...aku juga suka cokelat, tapi terkadang aku juga suka permen dan juga kembang gula. Pokoknya semua makanan yang manis-manis aku menyukainya.", jawabku.
Tiba-tiba si nyonya itu mengeluarkan sebuah kotak dari tas kecil yang diipangkunya. Dan ia membuka kotak itu. Ternyata isinya adalah cokelat.
"Anda mau cokelat, Tuan?", ujarnya seraya menyodorkan kotak itu ke arahku.
Aku pun mengambil tiga bungkus cokelat dari kotak itu. "Hmm...terima kasih nyonya.", ucapku seraya menaruh dua bungkus cokelat ke dalam saku kemejaku. Sementara yang sebungkus lagi kubuka dan kumasukkan ke dalam mulutku.
"Bagaimana rasanya, Tuan?", Tanya nyonya itu.
"Hmm...sangat enak.", jaawabku.
Nyonya itu cukup menarik untuk dijadikan teman ngobrol. Setelah sekian lama mengobrol tampaknya aku mulai suka padanya. Wanita itu lumayan cantik, wajahnya sangat ayu dengan bibirnya yang manis. Matanya juga indah. Rambutnya tergerai lurus sepinggang. Lama-lama aku merasa tertarik kepadanya. Hatiku mulai bertanya-tanya "Apakah aku telah jatuh cinta?'
Dalam sekejap kami menjadi lebih akrab. Rupanya si nyonya itu juga suka mengobrol sepertiku. Kami pun melanjutkan obrolan kami hingga lupa waktu.
Sejam kemudian. Pak kondektur datang mengantarkan seorang anak berambut lurus dan berkaca mata. "Oh anakku!", si nyonya sejenak tersentak melihat anaknya, lalu memeluknya sambil menetesakan air mata. Ia baru ingat bahwa anaknya telah hilang di kereta beberapa jam yang lalu. Dengan perasaan bersalah ia pun memeluk anaknya erat-erat sambil menangis.
Aku dan pak kondektur hanya bisa memandang kedua anak dan ibu itu sambil tersenyum lega. Setelah itu si nyonya itu pun kemudian berterima kasih kepada pak kondektur.
"Maaf nyonya kami terlalu lama menemukan anak anda. Tampaknya anak anda tersesat di kereta ini dan kelelahan, lalu ia pun tertidur di dekat tumpukkan barang di pojok gerbong delapan. Tadinya kami tak mengira anak itu bersembunyi di sana. Namun, setelah kami berpikir bahwa tak ada salahnya memeriksa tumpukkan barang kami pun memeriksanya dan berhasil menemukan anak nyonya ini.", jelas pak kondektur.
'Tak apa-apa pak kondektur, yang penting saat ini anakku sudah di temukan. Terima kasih....pak...saya ucapkan beribu-ribu terima kasih.", ujar nyonya itu.
"Tak apa nyonya, itu memang sudah tugas kami.", ujar pak kondektur.
Tak lama kemudian suasana pun kembali tenang. Sang anak sudah duduk di bangkunya dan si nyonya kembali melanjutkan obrolannya denganku. Kami pun mengobrol cukup lama dan kuperhatikan, selama kami mengobrol, anak nyonya itu menatapku tajam ke arahku. Aku jadi sedikit salah tingkah.