[1] Di Luar Ekspektasi

508 31 12
                                    

Disaat kalian masih berada di angkot yang jalannya lambat seperti siput sementara jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat tiga belas menit dan sialnya bel sekolahmu akan berbunyi dua menit lagi, apa yang akan kalian lakukan?

Loncat-loncat?

Teriak-teriak di kuping sang supir angkot?

Atau menjambak rambut supir itu sekalian?

Mungkin mengetuk-ngetukkan jari ke lutut dan merapalkan doa-doa adalah hal yang paling waras untuk dilakukan. Dan itu yang kulakukan sekarang.

Aku telat, lagi. Yah sepertinya sudah tidak mengejutkan lagi kalau mendengar berita aku telat.

Tapi, sebagai seorang gadis yang selalu menggunakan perasaannya saat melakukan sesuatu*uhuk*, wajarkan kalau diriku ini merasa ketakutan? Tidak seperti orang yang duduk disebelahku ini. Sudah tahu dia bakalan telat, tapi tetap aja santai.

Yang disebelahku ini Kak Rere, kalau kalian ingin tahu. Dari tadi kerjanya hanya memelototi kamera yang ada di genggamannya. Tidak ada ketakutan sedikitpun dari gelagatnya. Hhh, aku ingin seperi itu. Tapi apa daya, aku telah ditakdirkan sebagai seorang seorang gadis yang mudah panik.

Angkot yang ku tumpangi masih berjalan dengan lambatnya. Seolah-olah sengaja ingin membuatku terlambat, sang supir tak berniat sama sekali untuk menambah kecepatan angkotnya. Ingin rasanya aku menjambak rambut supir itu dan berteriak cepat jalannya bego!

Untung nasib supir itu masih tergolong baik, sehingga hal itu tak terlaksanakan.

***

Nafasku terengah, jantungku juga berdetak melebihi ritmenya. Dan tak lupa keringat pun bercucuran di pelipisku.

Ku lirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri, jam 7.19. Gila! Ini rekor pemirsah!! Aku berlari dari perempatan--tempat dimana angkot tadi berhenti-- yang jaraknya dua ratus meter dari sekolah hanya dalam waktu kurang dari dua menit. Padahal sebenarnya aku termasuk orang yang tidak suka lari. Tapi, demi sekolahku  tercinta aku rela melakukan hal nista itu.

Tapi sayang, usahaku tidak dianggap oleh Bukber--nama aslinya Berta--, dia guru BK yang terkenal paling killer seantero sekolah.

Dari tadi kerjanya hanya berkacak pinggang dengan mata melotot. Dia menatapku dari atas kebawah lalu balik lagi keatas seakan-akan sedang menilaiku. Huh! Sok asik banget nih guru.

"Kenapa kamu bisa terlambat?!" Bentak Bukber.

"Anu buk--em--anu--," ucapku terbata-bata. Bingung harus memberi alasan apa padanya.

"Kenapa?" Bentaknya lagi. Etdah! Bisa pecah gendang telingaku kalau dibentak terus.

"Begini Buk. Angkot yang saya tumpangi tadi bannya bocor. Jadi saya nunggu supirnya ganti ban makanya saya jadi telat sampai di sekolah." Ucapku pelan. Aku terpaksa berbohong agar tidak diberi hukuman.

"Benar itu?" Tanya Bukber penuh selidik. Alis palsunya menungkik tidak jelas.

"Benar Buk."

"Bohong Buk." Suara berat itu menginterupsi. Aku menoleh kesamping ternyata ada Kak Rere yang berdiri dengan tangan dimasukkan ke saku celana.

Astaga baru kali ini aku mendengar dia berbicara. Duh suaranya seksi banget. Tapi sayangnya kata-kata yang dikeluarkannya diluar dugaanku. Apa tadi katanya? Bohong? Bukannya membantuku meyakinkan Bukber dia malah membongkar kebohonganku.

Another ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang