[5] Lion (H)air

263 21 5
                                    

"Di sebelah lapangan basket itu ada taman kompleks," ucapku mengakhiri acara keliling kompleks ini.

Kalau dihitung-hitung, sudah satu jam kami berjalan. Dan itu membuat kakiku pegal. Tapi sepertinya hal serupa tidak dialami oleh Rere. Karena dari tadi wajahnya tidak terlihat lelah melainkan terlihat antusias.

Aku heran. Apa sebegitu antusiasnya dia berkeliling kompleks yang menurutku biasa-biasa aja ini? Hah sudahlah tidak perlu dipikirkan.

"Di kompleks ini nggak ada minimarket?" Rere bertanya sambil memasukkan tangan ke dalam saku jaketnya.

"Ada. Tapi bukan di dalam kompleks. Tuh di sana." Telunjukku mengarah ke gedung yang membelakangi kami. Posisinya tepat berada di sebelah gerbang kompleks.

"Ke sana bentar yuk," ajak Rere sambil menggedikkan kepala ke arah minimarket tersebut.

"Mau ngapain?"

"Mancing." Wajahnya datar ketika mengucapkan kata itu. "Ya beli makanan lah," sambungnya lagi.

Aku hanya menahan tawa melihat wajahnya sekarang terlihat seperti bocah sd yang dijaili oleh kakaknya.

Ck,ck,ck. Kalau saja para fansnya tahu kalau sifat asli seorang Rere adalah seperti ini, mungkin mereka akan memutuskan pensiun menjadi penggemar Rere.

"Dih. Malah melamun. Ayo cepat." Lengan kaosku sudah ditarik sebelah olehnya. Dasar manusia tidak sopan. Begini caranya mengajak orang? Ck.

***

"Mau kemana lagi?"

"Pulang aja deh." Rere memasukkan kembali bungkus jajanannya ke plastik yang ditentengnya.

Sudah empat bungkus jajanan yang dihabiskan Rere. Padahal baru lima puluh meter kami beranjak dari minimarket. Dasar perut karet.

Tes tes

Ada beberapa titik air jatuh mengenai tubuhku. Aku mendongak dan titik-titik air itu mengenai wajah. Hujan.

"Eh. Hujan, Ha." Rere menarik lenganku sambil berlari menuju pos satpam kompleks.

Aneh. Di pos ini tidak ada siapa pun. Kosong. Mungkin satpam komples sedang makan malam di warung sebelah, seperti biasa.

Titik-titik air itu semakin menderas. Angin bertiup dengan kencang. Lenganku yang tak tertupi baju pun terkena sedikit cipratan air.

Ku lirik Rere yang berdiri di sampingku. Kedua telapak tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket. Matanya terpejam. Namun ada yang ganjil. Badannya sedikit bergetar.

Ku sentuh bahunya. "Re...?" tanyaku pelan.

Rere sedikit terlonjak karenaku. Matanya menatapku kaget. "I-iya?"

"Dingin?"

"Lo kedinginan?"

Ku gelengkan kepalaku. Aku suka dingin. Dan beruntungnya, aku juga tahan dingin. Jadi, saat angin kencang begini pun aku tidak masalah meskipun aku tidak memakai jaket.

"Bukan gue, tapi elo. Lo kedinginan?" alisku naik sebelah.

Rere terdiam, cukup lama. Sampai akhirnya satu kalimat yang keluar dari mulutnya membuatku sedikit kaget.

"Gue nggak tahan dingin."

Aku bingung. Bagaimana ini? Rere tidak tahan dingin dan kami tidak mungkin pulang sementara hujan masih setia turun.

Maka dari itu, dengan gerakan sangat pelan dan terkesan ragu, aku menyodorkan telapak tangan sebelah kiri kepada Rere.

Wajah Rere bingung. Dan entah kenapa hal itu membuat pipiku bersemu merah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 03, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Another ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang