[3] Tak Terelakkan

208 16 0
                                    

Brakk.

Pintu kamarku terbuka dengan sekali dorongan. Gana masuk ke kamarku dengan tergesa-gesa dan langsung menjatuhkan tubuhnya di tempat tidurku. Dasar sepupu tidak sopan.

"Eh! Apa-apaan ni?!" bentakku tak terima Gana telah mengusuti spraiku.

"Hah..hah..bentar. Gue ambil nafas dulu," katanya terengah-engah seperti baru saja di kejar setan. "Lo..lo kok bisa jadi babu si Rere sih?" lanjutnya dengan nafas yang mulai teratur.

"Yaelah gue pikirin lo akan memberitahukan gue kabar yang sangat waw sampe lo rela lari-larian demi nemuin gue."

"Dih pede banget lo. Gue lari-larian karena di kejar anjing tetangga, bukan karena mau nemuin lo." Jleb. Kata-kata Gana sukses membuat wajahku memerah karena malu.

"Yaudah sih," ucapku pura-pura acuh. Ku fokuskan pandangan pada novel yang ada di genggamanku.

"Woy! Gue nanya elah. Kenapa lo bisa jadi babu Rere?" Salah apa aku bisa punya sepupu kepo seperti Gana? Hhh, untuk wajahnya tergolong tampan, kalau tidak, sudah ku timpuk kepalanya.

Karena tidak ingin mendengar rentetan ocehannya yang tak berguna, aku pun menjelaskan alasan mengapa aku bisa menjadi babunya Rere.

"Ya ampun Rahaa. Kok lo bisa dengan mudahnya nerima tumpangan dari orang yang bahkan elo nggak tau itu siapa," ucap Gana--dengan nada yang melebih-lebihkan-- setelah aku selesai berbicara.

"Yaa... daripada gue telat, mending gue ikut aja," kataku acuh.

"Astaga! Gue rasa lo udah nggak waras. Kalo sempat lo kenapa-napa gimana? Kalo itu penculik gimana?" tanya Gana bertubi-tubi.

Ini yang kurang ku sukai dari Gana. Kekhawatirannya terhadap sesuatu itu sangat besar. Banyak orang mengatakan dirinya lebay. Tapi hal itu tak membuatku membencinya, aku tau kekhawatirannya padaku pertanda kalau dia sayang padaku. Walaupun terkadang hal itu juga membuatku jengah.

Sangat berbanding terbalik dengan Gana. Gama, kembarannya, justru memiliki sikap yang tenang, pendiam, dan selalu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Aku lebih dekat dengan Gama daripada Gana, karena kami memiliki banyak kesamaan.

"Nggak ada penculik pakai seragam SMA," balasku lalu mengikutinya merebahkan diri di kasur.

"Bisa aja dia nyam--,"

"Udahlah Na, gausah di permasalahkan. Yang penting sekarang gue nggak papa kan?" potongku.

"Iya sih. Tapi lain kali lo harus hati-hati. Jangan sembarangan ikut sama orang yang belum lo kenal," ucapnya sambil mengusap kepalaku. Aku selalu nyaman jika dia sudah melakukan ini.

"Iya iya. Emm besok lo jemput gue ya? Biar kita pergi sekolah bareng," usulku mengingat besok aku tidak boleh terlambat dan tidak boleh kembali menumpang pada Rere.

"GABISA," teriaknya.

"Gausah teriak-teriak juga dong. Emang kenapa sih?"

"Gue kan pergi sekolah bareng Putri, masa lo ikut?" Tanyanya sambil membawa-bawa nama pacarnya.

"Pelit lo," ucapku kesal sambil berbalik memunggunginya.

"Dih ngambek. Tuh si Gama nggak ada boncengan, jadi besok lo bisa pergi sekolah bareng dia," kata Gana sambil menusuk-nusuk bahuku dengan telunjuknya--mungkin--.

"Eh, Bang Gama udah pulang?" tanyaku kaget. Setahuku dia masih berada di Australia untuk mengikuti pertukaran pelajar.

"Heh! Lo manggil Gama pake embel-embel Abang. Tapi gue kagak. Nggak adil lo," protesnya. Tangannya yang mengusap berubah menjadi menoyor kepalaku.

"Yaa siapa suruh lo kayak anak kecil," kataku membalas perkataannya. Dia hanya mendengus mendengar balasanku.

Alasan aku tidak pernah memanggilnya dengan embel-embel Abang adalah karena sikapnya yang seperti anak kecil, cerewet dan selalu melebih-lebihkan masalah. Sedangkan Gama sikapnya lebih dewasa dan terkontrol.

"Dia udah pulang dari kemaren, dan sekarang dia ada di bawah," ucapnya kemudian.

Tak menunggu waktu lama, aku langsung berlari menuruni anak tangga dengan kecepatan maksimal yang ku punya. Di ruang keluarga aku melihat Bang Gama sedang bermain dengan Naura, adikku.

Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung memeluk Bang Gama dengan erat. Selama tiga bulan dia di Australia kami jarang berkomunikasi dikarenakan kesibukan masing-masing. Alhasil aku sangat merindukannya sekarang.

"Heyy!" kata Bang Gama terkejut akan tingkahku.

"Abang nggak bilang-bilang kalau udah balik," rajukku sambil menguraikan pelukan. Ku dudukkan diriku di sofa tepat di samping Bang Gama.

"Siapa suruh nomor lo nggak aktif di telponin," balasnya tanpa menoleh padaku. Matanya hanya fokus pada lego yang tengah dia dan Naura susun agar menjadi bentuk apa aku juga tidak tahu.

Aku mendengus. "Ada oleh-oleh nggak?" tanyaku ceria.

"Nggak ada. Gue kesana itu untuk sekolah, bukan untuk shopping," katanya yang seketika membuat wajahkh tertekuk. Dasar sepupu pelit, sama aja kayak kembarannya.

"Eh Bang," ucapku sambil mencolek bahunya, "besok pergi kesekolah bareng ya? Lo jemput gue," lanjutku.

"Lo pikir gue ojek apa?" sewotnya.

"Yailah sekali-kali nggak papa kali. Sama sepupu sendiri juga," rengekku padanya. "Ya ya ya? Mau ya?" sambungku dengan tangan menarik-narik ujung kaos yang dikenakannya.

"Hhhh iya iyaa," balasnya sambil mendengus jengkel.

"YESS," teriakku senang. Bang Gama dan Naura hanya geleng-geleng melihat tingkahku. Terkadang aku bingung, mana yang lebih tua antara aku dan Naura karena sikap Naura terlihat lebih dewasa dariku.

***

Jam setengah tujuh aku sudah siap dengan pakaian sekolah yang sangat rapi. Ku gendong ransel biruku di punggung dan langsung turun ke bawah.
Di ruang makan sudah ada Papa, Mama dan Naura.

"Pagi Ma, Pa, Dek," sapaku riang sambil mengecup pipi mereka bergantian.

"Pagi sayang. Tumben kamu jam segini udah siap," kata Papaku saat aku duduk di samping Naura.

"Sengaja, biar nggak telat lagi. Soalnya Kakak udah kena surat peringatan dari guru Bp," jelasku panjang lebar. Papaku hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya.

Setelah memakan sarapanku, aku langsung bergegas bangkit dan mencium tangan kedua orang tuaku serta mengecup pipi adikku. Lalu aku berjalan dengan sedikit terburu-buru ke luar rumah.

Berjalan sekitar lima puluh meter aku sampai di gerbang komplek. Aku berjanji pada Bang Gama kalau dia akan menjemputku di sini.

Lima belas menit menunggu, Bang Gama tak kunjung datang. Berkali-kali ku telpon nomornya tapi tidak diangkat. Bagaimana ini? Sudah hampir jam tujuh tapi belum ada tanda-tanda kedatangan Bang Gama. Bisa-bisa aku terlambat lagi.

Tepat jarum jam mengarah ke angka tujuh, motor sport hitam kembali berhenti di hadapanku. Aku kenal motor ini, motor Rere.

"Naik," katanya memerintahku.

Tidak ingin menumpang dengannya, aku mencoba menelpon Bang Gama sambil melihat ke sekeliling. Siapa tahu ada angkot dan aku dapat menaikinya. Tapi sialnya sekarang nomor Bang Gama tidak aktif dan angkot juga tidak ada.

"Cepetan naik. Lo mau terlambat?"

Dan dengan sangat terpaksa, aku kembali menaiki motornya.

***

a/n:

Selamat hari minggu.
Selamat baca dan semoga suka.

Vomments jangan lupa:)

Tabik
--Luthfia

Another ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang