[4] Malam Minggunya Sang Jomblo

244 19 4
                                    

Suara gedebuk terdengar saat aku melempar tas ke lantai. Sungguh. Hari ini sangat sangat melelahkan. Badanku pegal-pegal dan kepalaku pusing.

Ini semua karena Kare ayam gila itu. Seenak jidatnya memerintahku untuk melakukan segala kemauannya. Mulai dari membawakan tasnya, memesankan makanan dan minumannya, memegangi kameranya sambil berkeliling sekolah, sampai-sampai aku disuruh mendorong motornya yang mogok saat pulang sekolah tadi.

Bukan hanya fisikku yang lelah, tapi hatiku juga. Selama di sekolah tadi aku harus bisa menahan emosi untuk tidak mencongkel mata dan mongoyak mulut para siswi yang menyukai Rere. Dasar cewek-cewek monster! Bisa-bisanya mereka menatapku menilai dengan mulut berbisik mengataiku kalau aku genit.

Oke, ku ulang sekali lagi. Mereka mengataiku genit. GENIT PEMIRSAH GENIT! Astagaa apa mereka tidak menyadari kalau sebenarnya yang genit bukan aku melainkan mereka? Hhh, dasar fans.

Tak ingin gila sendiri karena terus-terusan memikirkan para syaiton seperti mereka, aku pun memasuki kamar mandi. Mencoba menyegarkan diriku dengan guyuran air dingin.

Setelah mandi dan memakai baju, aku membaringkan tubuhku di kasur. Mungkin tidur sebentar akan membuat rasa lelahku hilang.

***

Aku terbangun saat langit sudah gelap. Ku lirik jam yang menggantung di dinding kamarku, ternyata sudah jam setengah tujuh. Ku langkahkan kakiku ke kamar mandi untuk sekedar membasuh wajah agar terlihat lebih segar.

Setelah itu aku keluar kamar dan turun ke lantai dasar rumahku. Di bawah sepi, seperti biasa. Hanya ada Naura yang sedang bermain lego di ruang keluarga.

Papaku adalah seorang Pejabat Diplomatik yang sekarang bertugas sebagai Duta Besar Indonesia untuk Negara Singapura. Karena pekerjaannya, Papa sangat jarang berada di rumah. Beliau tinggal di Singapura dan hanya dua minggu sekali pulang ke Jakarta.

Sama halnya dengan Papa, Mama juga jarang berada di rumah. Mama adalah sekretaris Papa. Karena itu Mama ikut tinggal di Singapura. Tapi bedanya, Mama akan pulang seminggu sekali untuk melihat kami, anak-anaknya.

Sambil mengikat rambutku yang berwarna coklat ini, aku melangkah ke dapur. Mengambil toples berisi keripik kentang lalu kembali lagi ke ruang keluarga.

"Lagi ngapain Dek?" tanyaku sambil memasukkan keripik kentang ke dalam mulut. Tanganku tengah sibuk menekan tombol remot mencari-cari acara yang pas untuk di tonton di malam minggu ini.

"Lagi main lego," jawab Naura pendek.

"Mau buat bentuk apa?"

"Rumah, mungkin."

Hah. Adikku ini memang irit sekali bicaranya. Sampai-sampai terkadang aku kesal dibuatnya.

Tok tok tok.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar rumah. Dahiku mengernyit. Siapa yang datang malam-malam begini?

Segera aku membuka pintu utama rumah ini. Dan setelahnya aku melihat seorang gadis kecil yang ku tahu seumuran dengan adikku sedang berdiri sambil memasang senyum simpulnya.

"Hai Kak Raha," ucapnya ramah, seperti biasa.

"Eh, hai Azmi. Kamu kok bisa ada di sini malam-malam begini?" Aku kaget kenapa teman adikku ini bisa sampai di sini. Bukannya rumah dia itu jauh dari sini ya?

Memasang cengirannya, Azmi menjawab, "aku kan udah pindah ke komplek ini Kak. Tuh, rumahku yang di seberang."

"Loh? Sejak kapan kamu pindah? Kakak nggak tau?"

"Baru tadi sore sih. Hehe," kata Azmi masih setia dengan senyumnya.

"Ooh. Yaudah deh, masuk yuk," ajakku sambil meghelanya masuk ke dalam rumah.

Another ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang