[2] Babu dan Majikan

298 20 5
                                    

Angkot pada kemana sih? Dari tadi aku berdiri di pinggir jalan dekat gerbang komplek tempat tinggalku, tapi tak ada satu pun angkot yang lewat berhenti. Semuanya penuh. Bus juga tidak ada yang lewat. Aku bingung, bagaimana aku bisa pergi ke sekolah kalau begini caranya?

Terlintas ide untuk balik ke rumah dan meminta Mang Parjo--supirku-- untuk mengantarkanku ke sekolah. Tapi mengingat sekarang sudah jam tujuh lewat lima, pikiran itu ku hilangkan. Percuma saja aku diantar kalau pada akhirnya akan terjebak macet juga.

Masih setia menunggu angkot, aku mencoba memperhatikan sekitarku. Sampai akhirnya terdengar suara klakson motor yang membuatku mengalihkan pandangan. Terlihat seorang cowok? Yah sepertinya cowok karena dia memakai celana.

Cowok itu berada di atas sebuah motor sport berwarna hitam. Wajahnya tertutup karena mengenakan helm fullface. Aku mengerutkan dahi, bingung kenapa cowok ini berhenti tepat di depanku.

"Naik," katanya. Dari suaranya sepertinya aku kenal. Tapi sayangnya aku lupa.

Ku perhatikan seragam yang digunakannya. Seragam sekolahku. Apa dia temanku? Tak mau pusing memikirkannya, aku langsung naik ke atas jok motor milik cowok tersebut. Semoga saja cowok ini bukan penculik.

***

Ku lirik jam tanganku, jam tujuh lewat tiga belas menit. Dua menit lagi bel, nyaris saja aku terlambat. Untung cowok yang ku tumpangi motornya ini mengendarai dengan sangat cepat.

Segera aku turun dari jok motornya. Setelah mengucapkan terima kasih, aku segera beranjak dari parkiran sekolah. Tapi, belum selangkah aku pergi, kerah seragamku di tarik dari belakang.

"Eeh mau kemana lo?" Aku membalikkan badan dan terkejut. Ternyata cowok yang memberiku tumpangan adalah Rere.

Sudah dua minggu setelah kejadian dimana dia menghinaku, aku tidak bertemu dengannya. Dan sekarang kenapa aku harus bertemu dengannya dalam situasi seperti sekarang? Aissh kalau saja aku tahu dia sang cowok pengendara motor tadi, tak akan sudi aku menumpang dengannya.

"Apa?" ucapku kesal sambil menatap matanya tajam.

"Lo pikir tumpangan tadi gratis? Inget ya nona, di dunia ini tidak ada yang gratis," balasnya santai namun menusuk.

"Jadi apa mau lo?"

"Jadi babu gue selama sehari ini," katanya. Alisnya naik turun seolah-olah sedang mengejek.

"Apa? Ogah! Emang lo siapa? Enak banget nyuruh gue jadi babu," sungutku. Ku langkahkan kakiku namun terhenti lagi karena sekarang Rere mencekal tanganku.

"Anggap aja ini ucapan terima kasih lo. Lo harus mau. Atau.. lo mau gue permalukan di depan umum? Ucapan gue nggak pernah main-main lho."

Aku menelan ludah kasar. Di permalukan di depan umum? Mengingat dia cukup populer di sekolah ini, bisa saja dia melakukannya. Hah. Mungkin memang aku harus menerima usulnya menjadi babu. Untuk hari ini aja. Ya, untuk hari ini aja.

Ku balikkan badanku dan menatapnya. "Oke. Untuk sehari ini aja," ucapku mantap.

Senyum miringnya muncul. "Siniin handphone lo," perintahnya.

"Mau apa lo minta handphone gue?"

"Udah cepatan siniin," katanya memaksa. Dengan sangat terpaksa aku menyerahkan handphone-ku padanya.

"Nih, jangan jauh-jauh dari handphone lo. Soalnya gue bakal sering nelfon lo," katanya sambil mengembalikan handphone-ku.

"Bacot," kataku lalu segera berlali meninggalkannya.

Another ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang