The 'it' of previous chapter
Tak ada yang salah.
Juno menggaruk kepalanya. Inikah rasanya saat ia rindu namun jangankan untuk menanyakan kabarnya, mengetahui Alex dimana saja ia tak tahu. Kenapa rindu itu begitu menyiksa?
Saat ini yang ia butuhkan adalah mendengar suara renyah milik Alex.Ia menatap layar BlackBerry-nya dengan wajah heran. Sebuah nomor tak dikenal.
Beberapa detik ia biarkan. Kemudian ia menekan tombol accept bersiap menerima sambungan telepon itu."Halo... iya, saya sendiri. Ini dari siapa ya?.....apa? Rumah Sakit?.... Baiklah saya akan segera kesana" Juno dengan cepat menutup telepon, memasang helm, lalu memacu motornya menuju rumah sakit.
"Lo seharusnya gak ngelakuin ini, Jun. Dan sekarang mungkin sudah saatnya berfikir rasional. Alex gak menghubungi lo selama seminggu tanpa pemberitahuan dan secara tiba-tiba menghilang. Itu artinya dia berusaha ngelupain lo" jelas Keira.
"Gue gak percaya itu"
"Terserah elo" Ada jeda. Kemudian Keira melanjutkan, "Yah, alasan lain yang ngebuat Alex ngelakuin ini mungkin karena nyokap lo"
"Maksud lo?"
"Gue dipaksa Alex untuk memberi tahu semuanya. Dan tebakan gue sih mungkin Alex menjauhi lo agar gak nyakitin nyokap lo"
Juno begitu clueless
Terakhir yang ia lakukan adalah menelepon Alyssa yang saat itu sedang berada di Paris untuk memperdalam ilmu desain. Dan saat itu, Alyssa hanya berkata bahwa ia tidak bisa memberi tahu Alex sedang berada dimana. Dan hal lain yang dikatakan Alyssa adalah Alex sudah tak ingin bertemu Juno.
Dan Keira memberi kabar bahwa ia diberi tahu dokter jika jalan satu-satunya adalah operasi. Dan baiknya, operasi tersebut bisa berdampak pada kesembuhan Ibunya. Atau parahnya, Juno harus kehilangan ibunya. Dan Juno tak mau itu terjadi.
Ia hanya ingin kesembuhan Ibunya. Walau tak sesederhana itu prosesnya.
Kalian pernah merasa hampa atau kosong dalam hidup? Juno saat ini merasakan itu. Terkadang dalam lamunan kita berharap kehampaan dalam hidup itu sama seperti kehampaan sesaat ketika melamun. Sama seperti Juno, berharap kehampaan itu hanya sementara.
"Gue tersiksa. Harus merasa hampa kayak gini. Saat ini gue butuh dia "
Ramon menegakkan tubuhnya, siap berkata, "Gue gak bisa berbuat apa-apa, Jun. Gue rasa keputusan Alex ngelakuin itu ada benarnya. Gue tahu Alex seperti apa. Ia akan melakukan apapun agar tak ada satu pun yang terluka."
"Tak ada satu pun yang terluka?" Juno tertawa kecut.
"Gue terluka saat ini, Mon. Apa dengan kondisi gue yang seperti ini, memelas sama elo untuk tahu dimana Alex, tidak cukup membuktikan betapa terlukanya gue tanpa dia?"
"Lo harus bisa tanpa dia, Jun" ucap Ramon sembari meletakkan siku diatas lututnya. Berusaha menekankan apa yang ia katakan.
"Gak bisa, Mon"
"Gue pernah ngerasain seperti apa yang lo rasain"
"TAPI GUE BUKAN ELO!!"
"Ini bukan tentang gue atau elo. Ini tentang bagaimana lo menerima semua ini. Yang elo harus lakuin saat ini yah merelakan. Merelakan Alex pergi dengan keputusan yang mungkin bagi lo pahit sekalipun" Jelas Ramon dengan wajah serius.
Ramon kembali ke sofa dengan membawa sesuatu.
"Alex ngasih ini ke gue sebelum ia pergi" Ramon menyerahkan sebuah amplop putih besar berukuran seperti sebuah majalah kepada Juno.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFFAIR
RomanceCinta tak harus tentang Aku dan Kamu, mungkin saja ada Dia. ❌Cerita repost bertema gay ❌Writer : Syailendra Setiawan ❌HOMOPHOBIC DIHARAP MENJAUH!