Terima Kasih yang Kedua

61.6K 4.3K 226
                                    

Setiap orang punya caranya masing-masing untuk berbuat baik. Aku dan teman-temanku punya cara yang unik, agak konyol, dan melibatkan sebuah kaleng bekas.

Begini, kami punya sebuah kaleng. Benda itu sederhana—hanya sebuah kaleng bekas biskuit berukuran sedang. Kami menyebut kaleng itu Thank You. Cerita kaleng itu bermula dari aku, Rafa, dan sedikit campur tangan dari kakakku—Kak Sarah.

*

Agustus 2008

"Truth or dare?" Kak Sarah bertanya kepada aku dan Rafa.

Kami bertiga sekarang sedang berada di ruang keluarga rumahku. Aku dan Rafa tadinya sedang bermain sepeda di luar, tapi begitu Kak Sarah pulang, dia langsung menyuruhku dan Rafa masuk. Katanya, dia ingin mengajakku dan Rafa bermain. Kak Sarah tampak sangat bersemangat—begitu masuk rumah, dia tidak repot-repot melepas seragam putih-biru-nya dan langsung duduk di sofa ruang keluarga. Biasanya, dia selalu ribut kalau kuncir kudanya berantakan, kalau tubuhnya terasa lengket oleh keringat, atau kalau dia melihat aku dan Rafa bermain masih dengan seragam putih-merah kami. Tapi siang ini, Kak Sarah tampaknya tidak peduli.

Begitu aku dan Rafa duduk bersamanya, Kak Sarah dengan bersemangat menjelaskan permainan yang baru dia ketahui dari temannya tadi pagi. Namanya truth or dare. Peraturannya gampang saja—seseorang yang ditanyai harus memilih mau jujur ketika ditanyai sesuatu atau memilih melakukan apa saja yang diperintahkan kepadanya.

"Siapa dulu, Kak? Aku atau Rafa?" tanyaku kepada Kak Sarah.

Kak Sarah menunjuk anak laki-laki dengan rambut pendek di sebelahku. "Rafa dulu. Truth or dare?"

Rafa berpikir sejenak sebelum menjawab, "Dare."

Kak Sarah pun mendekatiku dan membisikkan sesuatu di telingaku. Aku terkikik mendengarnya, membuat Rafa menatap kami dengan penasaran. "Kenapa, sih?" tanyanya.

Kak Sarah menjauhkan tubuhnya dariku kemudian berkata kepada Rafa, "Kamu harus peluk Bi Imah nanti pas pulang ke rumahmu."

Rafa ternganga sebentar kemudian menggeleng. "Enggak mau!"

Aku tertawa melihat reaksi Rafa. Bi Imah adalah wanita paruh baya yang sudah lama bekerja di rumah Rafa. Dari dulu, Rafa tidak suka dengan Bi Imah, karena wanita itu sering memaksa Rafa mengerjakan PR, mandi, bangun pagi, sekolah, dan hal-hal lain yang dianggap Rafa membosankan.

"Harus," kata Kak Sarah. "Itu aturannya. Atau kamu mau pilih truth?"

"Kalau truth, aku bakal ditanya apa?"

"Pokoknya rahasia kamu," jawab Kak Sarah.

Rafa tampaknya sedang memikirkan pilihan-pilihan yang dimilikinya. "Peluk Bi Imah aja, deh."

"Pokoknya aku harus lihat pas Rafa meluk Bi Imah," kataku, dalam hati geli membayangkannya.

Rafa hanya memajukan bibirnya dengan sebal ketika mendengar ucapanku.

"Jangan lupa, habis meluk Bi Imah bilang makasih," kata Kak Sarah.

"Kenapa?" tanya Rafa dengan heran. "Kan aku yang meluk Bi Imah. Harusnya Bi Imah yang bilang makasih!"

"Bi Imah kan udah sabar banget ngurusin kamu. Pokoknya ini aturan dare dari aku. Setiap dare harus bermanfaat dan harus ada maksudnya. Aku enggak suka lihat temen-temenku yang main dare cuma buat ngerjain orang. Harus ada manfaatnya, dan aku mau setiap habis dare bilang terima kasih atau maaf—walaupun aku lebih suka terima kasih."

Thank YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang