PROLOG

26K 1.1K 14
                                    

LELAKI itu menarik koper hitam besar seraya menyandang ransel Gucci di tubuhnya, menyeberangi lautan manusia yang menyesaki terminal keberangkatan Bandara Internasional Soekarno Hatta.

Di tangannya, selembar tiket Europe Airways tujuan Charles De Gaulle International Airport menyatu dengan dokumen-dokumen lain yang tadi dicek oleh petugas. Dia melirik arloji di tangan kirinya. Pesawat yang membawanya baru akan terbang pukul 11.35, yang artinya, masih ada sekitar satu setengah jam waktu baginya untuk duduk dan menunggu.

Ia merogoh ponsel yang sedaritadi bersembunyi di balik celana denim biru miliknya dan melacak nama Arman, sahabatnya, yang berada di baris teratas kontak telepon. Sejenak, ia menekan tombol call pada layar dan tanpa perlu menunggu lima detik, seseorang di balik telepon menyapa dengan suara riangnya yang khas.

"Hei, Ren. Gimana? Udah di bandara?" Suara Arman menggelitik di balik bising manusia-manusia dari berbagai ras yang menyesaki ruangan ini. Membuat lelaki itu sejenak menutup mata untuk menikmati suasana yang sebentar lagi akan ditinggalkannya ini.

"Ren? Lo dengerin gue, kan?" Arman bertanya lagi, membuat ia seketika bangun dari lamunan singkat tersebut.

"Ya, ya gue dengerin kok," jawab lelaki itu seraya meraih tumbler berisi infused water dari ransel hitam dan meneguknya.

"Maafin gue ya karena nggak nganterin lo ke bandara, tapi gue bener-bener nggak bisa nolak permintaan Irgi buat nemenin dia ke acara keluarganya."

Lelaki bernama Rendra itu mengangguk tanpa sadar, masih tak percaya bahwa Arman dan Irgi telah resmi jadian satu minggu yang lalu. "Iya nggak apa-apa, santai aja," tukasnya seraya mengarahkan pandangan ke arah luar terminal yang dipenuhi manusia.

"Attitude bakal sepi nggak ada lo," tambah Arman disertai embusan pelan. "Dan gue bakal kesepian karena nggak ada lagi yang nemenin gue makan siang atau ke pestanya Bang Petra."

Rendra sedikit tersenyum mendengar itu. "Kan ada Sysil atau Randy yang gantiin gue."

"Nggak bakal sama, Ren. Gue sama lo itu udah kayak saudara kembar, ada ikatan batin tersendiri yang bakal beda jika dibandingin sama ketika gue sama Sysil atau Randy," tukas Arman yang membuatnya sontak terkikik. Ia mengakui, ia pasti akan merindukan tingkah konyol Arman. Sekarangpun, dirinya sudah merindukannya.

"Ya makanya lo yakinin diri lo bahwa semua bakal sama meski nggak ada gue," tandasnya lagi dengan suara pelan. Ia dan Arman memang telah banyak melewati waktu bersama, sehingga berat rasanya mengucapkan selamat tinggal di saat seperti ini.

"Ya udah, deh, Ren. Intinya, meskipun lo udah nggak sekantor sama gue di Attitude, gue tetep ngedoain yang terbaik buat lo. Gue harap, lo bakal terus inget gue meskipun lo jadi orang sukses di Perancis nantinya. Jaga diri, dan jangan lupa buat makan teratur."

Rendra tergelak lagi. "Ya, ya, ya. Makin lama omongan lo kayak emak-emak yang mau ditinggal anak perawannya."

Arman balas tertawa, "At least, itu artinya gue masih peduli sama lo."

Untuk sesaat, mereka berdua ternggelam dalam tawa yang sebentar lagi hanya akan jadi kenangan. Terlalu banyak hal yang harus ia tinggalkan termasuk kebersamaannya bersama Arman dan staf Attitude yang lainnya. Namun bagaimanapun, ia harus tetap melakukan ini. Demi hatinya, juga demi masa depannya.

LOSING YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang