NARENDRA UTAMA
SEBENARNYA, jika saja bom waktu tak menghalangi perjalanan cinta kami, semuanya akan sempurna. Namun ternyata, takdir Tuhan berkata lain. Tepat dua minggu setelah kepulangannya dari rumah sakit, Mada akhirnya mengembuskan napas terakhirnya. Atas penjelasan dokter yang kudengar di sela isak tangisku, ada pendarahan kronis dan kegagalan fungsi yang terjadi di jantungnya. Ditambah, ada beberapa infeksi yang mulai menggerogoti beberapa organ dalamnya. Membuat tubuh lemah Mada tak bisa bertahan hingga waktu yang telah ditentukan.
Arman yang mengabariku malam itu. Malam di mana aku baru saja menyiapkan kue dan kado untuk ulang tahunnya yang keduapuluh lima. Dari balik speaker telepon, aku bisa mendengar suara sahabatku itu yang bergetar mengabarkan luka. Malam itu, aku tahu bagaimana rasanya langit meruntuhiku. Dan malam itu, aku sungguh-sungguh tahu apa yang sebenarnya dinamakan kehilangan.
Jika aku bilang aku tak sedih, aku bohong. Dan jika kubilang aku tidak hancur, aku tentu sedang membual. Tak ada yang lebih menyakitkan selain menatap jasad Mada yang kaku terbaring di atas brankar dengan kain putih menutupi tubuhnya. Dan tak ada yang lebih mengerikan selain mendapatkan kenyataan bahwa lelaki itu telah pergi meninggalkanku... sama seperti Ben, juga Ayah dan Ibuku.
"Rasanya aneh ngucapin kalimat ini buat kedua kalinya, tapi lo tetap harus ngikhlasin ini semua, Ren." Arman menyentuh bahuku dan membisikkan kalimat itu dengan pelan. Langit masih terlihat muram, seolah turut sedih menyaksikan upacara pemakaman ini.
"Thank's, Man," jawabku singkat, tak tahu kalimat seperti apa lagi yang harus kuucapkan. Tanpa perlu kujelaskan sekalipun, Arman pasti tahu bagaimana hancur dan sakitnya hatiku saat ini. Dan tanpa kujelaskan sekalipun, ia pasti tahu bahwa separuh hatiku kini benar-benar hancur untuk kedua kalinya.
Kuedarkan kedua mataku ke arah sanak keluarga Mada dan anak-anak Polaroid yang masih terisak di ujung makam. Apakah kesedihan mereka sama besarnya dengan kesedihan yang kurasakan?
"Terus rencana lo apa setelah ini?" Arman membuyarkan lamunanku dengan pertanyaan itu. Aku menoleh ke arah cowok yang kini berbalut kemeja hitam dan celana jins berwarna senada itu.
"Nggak tahu," jawabku disertai gelengan lemah. Satu persatu pelayat mulai pergi meninggalkan tanah makam yang asing ini. "Mungkin gue bakal ambil tawaran buat kerja di French Catalogue."
"Lo mau ke Perancis?"
Aku mengangguk. "Mungkin. Udah terlalu banyak kenangan yang nyakitin gue di sini, Man." Aku menarik napas sebelum melanjutkan, "Gue butuh suasana baru yang bisa gue gunakan buat menenangkan diri sejenak."
Usai jawaban terakhirku, Arman hanya mengangguk seraya mengembus napas. "Just do what you think the best, then."
Aku mengangguk. Dan untuk sekian menit selanjutnya, kami lantas diam dibebat kebisuan. Tanah makam yang beberapa saat lalu nampak ramai kini perlahan sunyi. Oom dan Tante Purnomo--Oom dan Tantenya Mada--sudah pergi bersama sebagian anak-anak Polaroid yang lain. Hanya tersisa aku, Arman dan Hans yang masih mematung menatap nisan putih bertuliskan nama Armada Dirgantara di atasnya. Langit semakin gelap, namun gerimis masih enggan turun.
"Gue turut berduka atas kepergian Mada ya, Ren." Hans mengatakan kalimat itu seraya mengayun langkahnya mendekat ke arah aku dan Arman. Ia melepas kacamata hitamnya dan menggantungnya di saku kemeja.
"Makasih, Hans. Semuanya udah diatur sama Yang Di Atas," jawabku menguatkan hati. Aku tak boleh menitikkan air mata lagi. Kepergian Mada bukan untuk ditangisi.
"Yeah, sukurlah kalo lo bisa menerimanya," tandas Hans lagi, yang kuamini dengan senyum getir di ujung bibir. Meski masih terasa begitu berat, aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku bisa menerima dan merelakan semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOSING YOU
Romance(TAMAT 16 OKTOBER 2015) Seandainya bisa, aku ingin memutar waktu. Agar tak kubiarkan tangan sang takdir mempertemukan kita. Kau tahu? Aku masih terlalu takut untuk jatuh cinta. Namun dengan lancang, kau hadir menelusup dan merebut detak jantungku. ...