2: Mimpi Buruk di Awal Bahagia

10.3K 748 38
                                    

NARENDRA UTAMA

SAMA seperti kata Ben, takdir itu aneh.

Aku baru saja mendudukkan pantatku ke atas kursi kubikel saat Arman, rekan kerjaku sesama jurnalis menghampiriku sembari—seperti biasa—mengunyah sekotak popcorn. Entah kenapa, cowok tinggi dengan kacamata minus dua setengah di atas hidung—yang dulunya adalah sahabatku saat SMP hingga SMA—itu begitu menyukai makanan yang menurutku menjijikan itu. Kantor masih sepi pagi ini. Hanya ada aku dan beberapa staff dari departemen lain yang sudah terlihat .

"Woi! Lecek amat itu muka! Kagak dijatah sama Ben apa tadi malam?" cetus Arman seraya mengempaskan tubuh pada kursi di sampingku. Yang hanya kubalas dengan dengusan pendek sebelum meletakkan sling bag-ku ke atas meja.

"Bukan urusan lo!" jawabku ketus seraya mengeluarkan laptop dari tas dan menyalakannya.

"Lagi menstruasi lo, ya?" Bukan Arman namanya kalau menyerah dengan sikap ketusku. Cowok satu itu memang menyebalkan. Namun justru sifat menyebalkannya itulah yang kadang kurindukan.

"Tadi malam si Ben aneh banget, Man." Aku memutar kursi yang kududuki, sehingga aku dan Arman kini berhadapan. "Tadi malam dia pamit sama gue buat ke Surabaya nemuin klien. Tapi nggak tau kenapa, gue ngerasa kalau ekspresi dia itu aneh banget. Dia nggak pernah ngomong pake nada bergetar kalau pamit ke gue. Dan tadi malem, sikap dia itu beda banget."

Seolah bisa membaca kekhawatiran yang muncul di wajahku, Arman segera menyentuh bahuku. "Lo nggak boleh negative thinking dulu, Ren. Kali aja itu cuma perasaan lo aja."

"Tapi, Man—"

"Hal kayak gitu wajar, Ren. Mungkin lo lagi ke-distract sama artikel-artikel lo, makanya lo jadi suka mikirin hal-hal yang nggak jelas."

"Gue hanya takut jika sesuatu terjadi sama Ben. Gue nggak mau kehilangan dia. Gue sayang sama dia." Tanpa bisa kuhindari, sepercik gemuruh muncul di dalam dadaku. Rupanya segala hal yang membuatku berpikiran buruk semalaman telah bertransformasi menjadi sebuah kekhawatiran yang membuatku gelisah. Bahkan sebelum berangkat ke bandara tadi, Ben masih saja bertingkah aneh dengan membisikkan 'aku bakalan kangen kamu' di telingaku. Padahal, kepergiannya di Surabaya hanya tiga hari. Lusa ia akan kembali dan aku bisa merasakan hangat yang terpancar dari tubuhnya. Tapi kenapa Ben harus mengucapkan itu?

Belum sempat kekhawatiranku reda, tiba-tiba saja ponsel di saku celana denimku berdering. Memekikkan All Of Me yang disenandungkan jika ada telepon masuk dari ponsel Ben. Dengan sigap, segera kuraih benda tersebut dan mengangkatnya.

"Hal—"

"Dengan keluarga Benjamin Kaimana?" tandas suara laki-laki di ujung sana, sebelum aku sempat menyelesaikan sapaanku.

"Iya betul. Sa-saya Rendra," jawabku setengah panik karena laki-laki yang menyapaku di ujung telepon bukanlah Ben. "Ada apa dengan Ben?"

"Saudara Benjamin sekarang ada di unit gawat darurat Rumah Sakit Hermina. Mobil yang dikemudikannya pecah ban dan menghantam pembatas jalan. Mohon untuk saudara Rendra segera ke sini karena saudara Ben mengalami pendarahan yang kritis."

Tiba-tiba, seperti ada bom yang meledak di dalam kepalaku saat mendengar ucapan terakhir laki-laki itu. Suara panjang yang menandakan bahwa telepon telah diputus terdengar seperti melodi kematian yang mengerikan. Apa yang kutakutkan, akhirnya kejadian juga.

"Ben kenapa, Ren?" tanya Arman dengan suara panik dan tangan kanan yang mencengkeram bahuku.

Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Seketika, bibirku terasa kaku, seolah ada ribuan selotape yang membungkamnya. Mataku memanas, lelehan air mata tak bisa kubendung lagi. Aku ambruk dengan kepala tertunduk di atas meja. Tangisan yang sedaritadi kutahan telah berubah menjadi isakan kencang yang mengguncangkan hati dan perasaanku. Jika ini mimpi, ini adalah mimpi buruk yang teramat mengerikan.

LOSING YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang