ARMADA DIRGANTARA
DAHULU kala, gue pernah jatuh cinta pada seorang laki-laki yang serupa dengan Rendra. Seorang laki-laki yang memiliki raut sendu serta ketakutan yang sama akan sebuah kehilangan. Ia adalah Okta, adik kelas gue ketika gue masih berstatus mahasiswa di sebuah universitas negeri di Jakarta. Dia yang selalu merhatiin gue di balik kerumunan gadis yang bersorak-sorai menyerukan nama gue. Dan dia pula yang tahu semua yang nggak diketahui gadis-gadis itu. Tempat kesukaan gue ketika mencari inspirasi, makanan apa saja yang nggak gue sukai, serta jenis lagu-lagu apa yang selalu merajai playlist di ponsel gue. Dia yang mampu mahamin gue di saat orang lain cuma ngelihat dari penampilan luar gue, dan dia yang mampu nyemangatin gue di saat orang lain cuma nuntut gue menjadi seperti apa yang mereka inginkan.
Namun sayangnya, kisah itu harus berakhir karena dia memilih mengikuti jalan takdirnya. Dia memilih buat menyanggupi pertunangan yang diatur oleh kedua orangtuanya. Dia lantas pergi. Pergi begitu jauh dari tempat gue berada, dan seolah menghilang bagai ditelan bumi. Ninggalin gue dalam keadaan gamang dan kosong.
"Jadi buat makan malam kamu mau aku masakin Spaghetti atau Lasagna, Mad?"
Suara riang Rendra ngebawa gue pergi meninggalkan lamunan. Gue menoleh ke arah kekasih gue yang kini memegang dua bungkus pasta instan dengan kedua tangannya.
"Spaghetti aja, Sayang," jawab gue pendek, seraya mengalihkan pandangan kembali ke layar laptop yang kini menampilkan barisan lirik dan chord dari lagu-lagu milik Polaroid.
"Kamu nggak apa-apa, Kan Mad?" tanya Rendra lagi, kali ini disertai tatapan asing yang ngebuat gue tersudut.
"Ah. Aku nggak apa-apa, kok—"
"Tapi wajahmu pucat, Sayang," Rendra mengatakan itu lagi. Kali ini dia mendekat dan menyentuhkan punggung tangannya ke kening gue. "Kamu yakin nggak apa-apa? Badanmu hangat lho."
"Aku beneran nggak apa-apa," jawab gue cepat seraya menjauhkan tangan Rendra dari dahi gue. "Mungkin aku cuma kecapekan aja, akhir-akhir ini Polaroid banyak tawaran manggung," lanjut gue lagi, kali ini dengan berpura-pura memijit-mijit tengkuk.
"Oh, syukurlah kalau begitu," tukas Rendra menghela napas, menandakan bahwa ia mempercayai perkataan gue. "Kalau gitu aku ke dapur ya buat masakin Spaghetti kamu."
Gue mengangguk. Lantas Rendra segera mengayun langkah menuju dapur yang terletak di bagian belakang apartemen gue ini. Begitu sosoknya telah menghilang dari balik tirai dapur, gue lantas meraih sebotol tabung obat yang selalu gue simpan di dalam laci meja. Dengan cepat, gue keluarkan beberapa butir obat dan menenggaknya bersama air putih. Begitu obat tertelan, segera gue tutup rapat tabung tersebut sebelum menyimpannya kembali ke dalam laci.
Ini juga salah satu alasan kenapa Okta ninggalin gue. Gue mengidap kanker jantung yang sudah menginjak stadium tiga. Atau dalam istilah para dokter yang dulu nanganin gue, hanya keajaibanlah yang mampu nyelametin gue. Yeah, dokter-dokter itu ngeharusin gue menenggak berbutir-butir Aspirin untuk menghalau rasa sakit yang bisa kapan saja menyerang dada, sembari berharap bahwa benar-benar ada keajaiban yang mampu nyelametin gue dari resiko kematian yang nggak bisa dielakkan lagi. Okta nggak sanggup jika harus menerima kenyataan bahwa gue bakal segera pergi, oleh sebab itu, dia memutuskan untuk menjauh daripada mengambil risiko kehilangan yang sudah pasti akan diterimanya.
Entah sejak kapan gue menerima kutukan ini, gue nggak mengingatnya. Seingat gue, dulu ketika gue pulang sekolah, gue pernah pingsan dan terbangun di atas brankar rumah sakit dengan raut Mama dan Papa yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dokter mendiagnosa kelainan di jantung gue, diperparah dengan kanker tyroid ganas yang terus tumbuh dari waktu ke waktu. Sejumlah prosedur operasi yang dilakukan dokter seolah nggak mengubah apa-apa. Dan sejak itu, hidup gue selalu dibayang-bayangi oleh kematian. Gue tahu, hidup gue hanya diprediksi sampai angka duapuluh tujuh. Namun setidaknya, gue berharap keajaiban benar-benar terjadi sehingga gue bisa tetap hidup meski usia gue telah melewati angka tersebut. Gue pengin menikmati hidup tanpa pernah ada ketakutan, ya, gue menginginkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOSING YOU
Romance(TAMAT 16 OKTOBER 2015) Seandainya bisa, aku ingin memutar waktu. Agar tak kubiarkan tangan sang takdir mempertemukan kita. Kau tahu? Aku masih terlalu takut untuk jatuh cinta. Namun dengan lancang, kau hadir menelusup dan merebut detak jantungku. ...