5.

380 35 2
                                    

Okta membawaku ke kamarnya. Begitu masuk, aku menatap kamar Okta yang didominasi warna biru muda. Luas banget. Lebih luas dari kamarku. Kamarnya juga wangi banget. Terus ada poster poster kartun gitu tertempel di tembok kamarnya. Di pojok kamar ditutupi gorden putih. Untuk apa? Kalo kamar mandi ga mungkin. Tapi pojok kamar itu kayaknya jalan menuju balkon kamar Okta yang bisa terlihat dari luar rumah.

Okta melepaskan tarikannya. Dia berjalan menuju gorden putih itu. Menyibakkannya hingga sebuah grand piano putih terlihat dari sana. Di balik grand piano itu, ada pintu menuju balkon kamarnya.

"Wahh, ternyata lo punya grand piano di dalam kamar. Ga nyangka." Ujarku kagum.

Okta menarik bibirnya hingga membentuk lengkungan senyum. Dia lalu duduk di bangku grand piano itu. Okta menoleh dan menepuk bangku kosong sebelahnya. Menyuruhku untuk duduk di sebelahnya.

Aku terlihat ragu. Namun akhirnya menghampirinya lalu duduk di sebelahnya. Okta membuka penutup tuts pianonya. Aku menatap Okta dari samping. Apa Okta mau nunjukin permainan pianonya?

Okta tersenyum. "Gue mau lu denger permainan gue. Gue udah belajar lagu ini lumayan lama dan akhirnya gue bisa juga. Hahaha. Semoga suka."

Jari jemari Okta mulai bergerak. Jemarinya menekan tuts-tuts hitam dan putih dihadapannya. Alunan lagu menggema di kamar Okta. Aku ga tau Okta memainkan lagu apa. Tapi aku menyukai alunan merdu lagu yang ia mainkan. Okta begitu seriusnya memainkan alat musik yang dari dulu ingin aku bisa mainkan itu. Permainan apik Okta bagaikan sihir yang mampu membuatku termangu

Okta menghentikan permainannya sesaat. "Fur Elise. Karya Beethoven." Ujarnya singkat. Seakan menjawab kebingunganku. Dia kembali memainkan lagu karya komposer ternama yang namanya sering aku dengar.

Hingga denting terakhir berbunyi. Okta sukses memainkan lagu yang berjudul Fur Elise itu dengan begitu baik. Okta terdiam beberapa saat. Dia menaik turunkan dadanya. Sepertinya dia begitu menggebu memainkan lagu itu.

Dia menengok. Matanya menyipit melengkung lucu dengan senyum yang membuat dadaku berdesir. Nyaris, aku bisa meleleh kalo diberi senyum begitu terus-terusan.

"Huft. Leganyaaaa." Ujarnya sambil mengelap dahinya yanh sedikit berkeringat. Padahal ruangan ini cukup dingin karena AC.

"Gimana? Bagus ga? Ini pertama kalinya gue nampilin permainan lagu Fur Elise di depan orang. Dan orang yang beruntung itu elo."

Aku menatap Okta takjub. "Iyakah? Gue sangat tersanjung jadi orang pertama yang mendengarnya. Keren. Asli keren banget! Gue ga nyangka lo bisa main piano Ta."

"Makasih atas pujiannya. Gue belajar ini lumayan lama. Hehe." Dia menggosok tengkuknya. Merasa grogi mungkin karena aku puji.

"Otodidak atau les?" Tanyaku.

"Dua-duanya sih. Ehm, Gue mau ceritain sesuatu sama lo, lo mau denger ga?" Okta menggeser badannya menjadi lebih dekat dengan dudukku.

"Apatuh? Cerita dongg."

Dia menatapku ragu. Ada rasa enggan dan iya dari sorot manik matanya yang hitam itu.

"Apa?" Tanyaku dengan begitu antusiasnya. Okta menghela napasnya berat.

"Dari kecil gue selalu denger suara dentingan piano yang selalu Papah mainkan. Gue selalu suka ngeliat Papa yang begitu asiknya memainkan tuts. Tangannya bergerak sesuai dengan not dari lagu yang dia mainkan. Dari situ gue jadi pengen bisa main piano kayak Papah. Gue pernah janji sama beliau, gue bakal ngebawain lagu kesukaan Papah yang berjudul Apassionata dihadapannya suatu saat nanti, tapi sebelum itu.. Papah lebih dulu kembali ke yang Maha Kuasa."

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang