10.

576 42 4
                                    

"Ngapain lo?" Suara baritonnya membuatku tersadar dari berbagai macam pikiran erotis di kepalaku.

Dengan segera aku berdiri dari posisi jatuh tengkurap yang mungkin kelihatan engga banget. Sambil sesekali merapikan rambutku, aku mengalihkan pandanganku pada sekeliling kamar Nino. Mencoba menghilangkan perasaan salah tingkah ini.

"Gue tanya, elo ngapain di sini?" Nino kembali bertanya, nadanya terdengar begitu ketus.

Aku menggigit bibirku sambil menerjap-nerjapkan kedua mataku. Mungkin wajahku udah kelihatan seperti maling yang kepergok. Panik!

Ku beranikan diri untuk melihat Nino. Cowok itu berdiri dengan menopangkan kedua tangannya di pinggang. Memandangku dengan sengak dan angkuhnya.

Ludahku terasa sangat berat untuk ditelan.

Jangan panik Gracia! Kamu ke sini mau ngambil dvd bukannya mau maling! Okay, santai.

"Ga punya mulut buat jawab?"

Aku membuang napasku kasar. Memberanikan diri untuk menatap matanya yang... ehm apa ya disebutnya---menawan---menakjubkan---entahlah itu. Yang pasti matanya tajam bagaikan elang yang siap-siap menerkam mangsanya.

Tunggu... kalo gitu berarti, aku mangsanya dong?

"Hmm, anu---anu... gu--gue ma--mau ngambil dd--dvd. Hehehe." Jawabku tergagap sambil menunjukan dvd yang sedari tadi tersembunyi di balik badanku.

Nino menatap dvd yang ku tunjukkan itu. Dia mendesah pelan. Di saat itu aku memutuskan untuk beranjak pergi.

"Siapa yang nyuruh lo keluar?"

Langkahku kembali terhenti. Pasti dia bakal marahin aku karena udah lancang masuk ke kamarnya. Aduh, aku harus apa.

Aku mencoba untuk tidak menghiraukannya dan memilih untuk kembali melangkah. Sayangnya, tangan kanannya berhasil menarik tangan kiriku. Membuat jarak diantara badanku dengan badannya menipis.

Refleks aku mengedip-ngedipkan kedua mataku. Harum maskulin bercampur wangi sabun dari badan Nino menyeruak untuk masuk ke hidungku. Mataku beralih pada dada bidangnya yang masih terdapat air dari sisa mandinya. Kembali aku harus menelan ludahku begitu mataku turun ke bawah, lebih tepatnya pada tonjolan-tonjolan kecil yang ada di perutnya. Begitu menggoda, walaupun tonjolan otot perutnya tidak begitu terlihat seperti punya Shami.

Suara deheman Nino berhasil menghilangkan delusiku.

Refleks aku langsung menarik tangan dan memundurkan badanku."Eh---sorry."

Dengan perasaan dan suasana yang makin tidak kondusif, aku membalikkan badan dan berniat lari keluar.

Lagi-lagi dengan cepatnya Nino menarik tanganku kembali. Aku berusaha melepaskan tanganku, sialnya cowok itu malah menahan dan menarik kembali tanganku yang kali ini dengan kekuatan ekstra.

Dengan sekali hentakkan badanku terdorong ke depan, aku yang engga bisa menyeimbangkan badanku  menabraknya dan membuat badan kami sama-sama terjatuh di atas karpet bulu miliknya.

Kini bisa kulihat matanya dari jarak yang begitu dekat. Mata kami saling bertemu, menatap satu sama lain. Deru napasnya dapat kurasakan, begitu hangat menerpa wajahku. Jarak diantara wajah kami begitu dekat, sampai-sampai hidungku yang mancung kayak perosotan ini mengenai hidungnya. Mataku masih tidak beralih pada matanya. Menatapnya tanpa berkedip.

"Mau sampe kapan begini? Gue sangat-sangat ga menyukai posisi ini. Lo tau, posisi ini sangat amat membahayakan dan menyiksa bagi gue."

Bagaikan tersengat aliran listrik, aku seketika tersadar dan baru menyadari posisi kami. Iya emang sangat berbahaya dan... wait!

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang