Awal di Akhir

104 5 2
                                    

Gaung suaranya terngiang menyakitkan di telinga, menembus pertahanan tertinggi dari pendaman rasa. Suara yang biasanya menjadi perona hati, kini tak lebih seperti dengungan lebah menghampiri. Berjuta bintang memeluk langit, mempertontonkan keindahan heningnya malam, namun merobek kenangan pahit yang terbentang.

Memang jarum jam belum kembali ke arah yang sama, selama itukah bayangan dirinya mengusik pikiran. Tentang mimik wajahnya, tegas suaranya, dikala kalimat itu terlontar tepat di depan mata ini masih menatap kagum kepadanya.

"Aku masih menunggunya."

Tak perlu kibasan angin menyaru kesadaran, karena dari sepetik pernyataan itu, aku tahu bahkan kesempurnaanpun tak akan bisa mengubah. Mata menatap nyalang ke atas kelabunya langit, masih di malam yang sama. Langkah kakinya lambat laun sudah tak terdengar, menjauh. Nafasku tersendat, berusaha menahan sesak yang tiba-tiba melukai dada.

Apa yang kuharapkan?

Dicintai olehnya?

Bahkan setitik getahpun rasanya tidak mungkin.

Lalu sudut mata terasa panas, dan tanpa pertahanan berarti, buliran itu menetes diam. Menyakitkan. Kesunyian membiarkan beberapa dari mereka turun melewati pipi, kemudian berhenti. Kilasan memori yang menjadi penghentinya, mengingatkan hati yang tak mengingat. Sweater biru, tawa, dan melodi terindah.

Sore kala itu, mengudara butiran debu di balik tembok sekolah. Samar-samar dawai gitar terpetik halus, meniup perasaan hingga terbalut sukma. Aku menjejak pelan di atas tanah, mendengarkn sesaat. 5 menit, 10, 20, hingga 30 menitpun usai. Lalu gerbang belakang sekolah terayun pelan, bersama terhentinya alunan anonim itu.

Sosok jangkung bersweater biru muncul dari sana, menggendong gitar di belakang punggung. Binar matanya menggetarkan hati kala dia menatapku. Detik terdiam, aku dan dia tak berkata. Kemudian ketika waktu kembali berjalan, dia tertawa.

Lesung pipit kirinya membuka tawa, "Hehe, kamu dengar ya?" lalu dia berlalu.

Secarik kertas menghampiri kaki. Kubuka dengan kening berkerut, mencoba menelisik lebih jauh. Tertulis namanya.

Hari demi hari bersaing marah, saling mendahului mana yang menjadi hari terbaik. Mengenalnya adalah hari-hari yg tak egois, sama-sama menjadi hari terbaikku. Memang kata 'dekat' bukanlah rangkaianku denganny. Teman? Bukan. Sekedar garis putus-putus. Garis pendek adalah ulasan senyumannya, terkadang senyuman malu-maluku. Entah koridor, koperasi sekolah, atau perpustakaan yang menjadi bingkaian pertemuan. Hingga akhirnya garis putus-putus tersebut terhubung satu sama lain di bawah langit berbintang.

Pensi telah usai, bersama sisa kegembiraan yang melekat di dada. Aku duduk di bangku taman, mendongak ke arah jutaan titik-titik bersinar itu yang menyapa bergantian. Earphone di telinga bersuara pelan memutar lagu Infinity dari One Direction. Tanpa kusadari dia datang. Suaranya yang pertama kali menjawil jiwaku.

"Kamu suka musik?"

Bingung, hanya anggukan kepalaku yang mewakili jawaban.

Dia tersenyum, matanya menerawang, "Aku juga."

"Mengapa?" tanyaku dengan penasaran menggebu.

Dia menoleh, mengarahkan tatapan matanya padaku hingga aku merasa lautpun tak lebih dalam daripada matanya. Aku tenggelam di dalamnya.

"Karena aku bisa menyanyikan untuknya."

Aku tergagap kembali ke permukaan. Ingin rasanya tubuhku melayang mengejar bintang, meninggalkan dirinya dengan sepohon cerita tentang seseorang yang dikasihinya. Namun hatiku memilih tak beranjak, hanya bisa mengurai senyum menutupi kesakitan.

Berdua di bangku ini selama beberapa saat, hingga kurasa dia menyampaikan epilog. "Aku masih menunggunya."

Mataku mengerjap panik, mengusap air mata yang ditertawakan malam. Memori itu mengacungkan tangan, memberi kesimpulan. Sudah cukup parasnya menjadi batang kehidupanku, yang menopang kesedihan dan menegakkan kegembiraan dalam pahit manisnya cinta di hari-hari terbaik. Terima kasih untuknya dalam segenap kisah yang diawali dengan akhir dan akhir cerita yang akan menjadi awal.

END

(Chatsuya-121015)


Integrity of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang