My Crush is My Senior

396 21 8
                                    

Ara memandangku tanpa berkedip, membuatku terpaksa memalingkan wajah.

"Vi, lo yakin udah gak mau ketemu sama dia lagi?"

Aku mendengus kesal dan menghapus air mata di sudut mataku dengan kasar. Masih tak menatap Ara, aku menjawab ketus.

"Iya. Sampe mati."

Sahabatku itu menarik nafas panjang. Mungkin lelah dengan sikap keras kepalaku.

Peduli setan. Aku juga sudah lelah dipermainkan selama ini.

"Vio, tau gak ? Kak Karel udah minta maaf berkali-kali sama lo. Dia bela-bela in gak ikut les tiap pulang sekolah, bolos jam tambahan pagi, rela nurunin harga dirinya buat minta maaf sama lo. Bahkan, kemaren dia nembak lo di hadapan kita, adik-adik kelasnya, tanpa malu !"

Aku menahan sesak di dada, "Dia gak tulus ngelakuin semua itu, Ra. Dia kasian sama gue!"

"Enggak, Vi. Dia gak mungkin-"

"IYA! Gue cuma cewek menyedihkan yang hadir di tengah sepasang manusia yang saling suka! Gue emang bodoh!" teriakku kesal diiringi lelehan air mata yang tak kunjung berhenti keluar dari mataku.

Ara diam dan tak menanggapi teriakanku. Ia menyentuh pundakku dengan lembut, berusaha mengalirkan ketenangan untuk diriku.

Aku masih menangis. Untuk hal-hal bodoh yang telah kulakukan demi Karel.

Ya, Karel. Cowok yang telah kutampar kemaren, tak peduli ia adalah senior tertua di sekolahku.

Mengingatnya kembali membuatku sangat ingin menghapus perasaanku terhadapnya. Perasaan yang telah kurasakan semenjak pertama kali melihatnya. Hari-hariku mulai terisi oleh kehadirannya, dengannya yang seolah menampilkan perasaan yang serupa. Kami mulai dekat, melebihi pertemanan yang seharusnya. Senyumnya dan perhatiannya hanya ditujukan olehku.

Lalu aku sadar, ternyata di belakangku ada seseorang. Seseorang yang bisa membuat Karel salah tingkah dan tersenyum hangat sekali.


0_0


Sang mentari menyorot riang di atas tanaman bunga milik mamaku. Aku masih mengamatinya dalam diam kala Papa memanggilku.

"Vio, Karel mau ketemu sama kamu."

"Suruh dia pulang aja, Pa. Dia bukan temenku."

Papa tersenyum sebelum ikut berjongkok di sebelahku, menatap aneka bunga yang akan merekah beberapa hari lagi itu.

"Papa dulu juga pernah muda. Sering banget papa bikin banyak wanita patah hati. Tapi dulu papa berbuat seperti itu karena papa gak tau perasaan wanita seperti apa. Mereka susah dipahami dan setiap mereka marah, Papa bingung kesalahan fatal apa yang udah Papa lakuin.

Mungkin itu juga yang dirasain Karel. Coba kamu temui dia, Vi. Selesaikan masalah baik-baik," terang Papa sungguh-sungguh.

Benarkah seperti itu?

Aku menganggukan kepala, tersenyum kepada Papa dan berdiri.

"Siapin tisu lagi di kamar Vio ya, Pa."


0_0


Karel beranjak berdiri melihatku muncul di ambang pintu. Tas ranselnya masih tersampir di pundak dan di tangannya tergenggam beberapa buku paket. Dia mungkin baru pulang dari les.

"Vi, terserah lo mau tonjok gue atau nendang gue dari sini, tapi please..dengerin gue dulu," sambarnya begitu melihatku di ambang pintu.

Aku tersenyum geli dalam hati. Rupanya dia masih mengingat ancaman terakhirku saat di lapangan.

"Duduk dulu, Kak." Aku mencoba lebih sopan, walau masih tersisa rasa kesal di dalam hati.

Begitu tubuhku sedetik mendarat di atas kursi, Karel langsung angkat bicara.

"Dek, gue minta maaf. Lo boleh anggap gue cowok brengsek. Ya, emang itulah gue. Tapi jujur, gue gak pernah ada maksud buat mainin lo."

Aku memalingkan wajah ke arah guci besar di belakang Karel. Pasti aku terlihat menyedihkan sekali sebagai cewek yang mengharap lebih pada kakak kelasnya.

Karel kembali berbicara, "Soal di lapangan kemaren, gue serius."

Tawa mengejek terlontar dari mulutku. Aku bersedekap dan menatap matanya.

"Maaf kak, gue gak mengemis cinta sama cowok yang udah ngasih cintanya ke cewek lain. gue gak maksa lo buat suka sama gue,"paparku dengan amarah yang menggebu.

"Gue cuma kecewa. Kenapa dari dulu lo gak jujur bilang sama gue. Seenggaknya hari-hari yang kita lewatin bareng bisa gue asumsikan sebagai pertemanan biasa. Tapi lo ngebiarin hal itu dan bikin gue sakit di akhir."

Air mataku merebak hingga membuat pandanganku memburam. Namun bisa kulihat Karel yang terkejut setengah mati. Matanya membulat dan dia seperti ingin mengatakan sesuatu namun urung dilakukan.

Tanpa memedulikannya lagi, aku berlari masuk ke dalam rumah.

Terserah tindakanku dibilang sinetron banget. Tetapi merasakan sakit ini membuatku menyadari bahwa ini hanyalah salah satu asam dalam campuran rasa ajaib cinta.

Mungkin yang pertama bagiku adalah asam, tapi siapa tahu apa rasa cinta yang selanjutnya?

Hari ini adalah pengalaman. Dan aku tidak akan membencinya karena dari dialah, aku bisa belajar untuk tidak semudah itu memercayakan hati pada orang lain.


END

Integrity of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang