"Ares, kau demam." Gumamku pelan mencoba melepaskan pelukan diantara kami. Tetapi Ares menolak, dia malah semakin memelukku erat. Aku mengerti apa yang di rasakannya meruntuhkan segala sisi egoisme dalam dirinya. Aresku lemah..
"Jangan tinggalkan aku." Gumamnya parau, aku menganggukan kepala mengerti. Laki-laki paruh baya misterius itu benar, Ares butuh teman.
Setelah Ares mau melepaskan pelukannya, ku baringkan tubuhnya di ranjang. Aku segera membuka lemari pakaiannya, mencari baju hangat yang bisa di pakai. Sebuah sweater rajut berwarna hitam menjadi pilihanku, aku segera membantu Ares memakainya.
"Mau menemaniku tidur?" Tubuhku membeku, bingung ingin menjawab apa karena tadi aku sudah berjanji akan menemaninya.
"Please.." Pintanya lemah.
Aku membaringkan tubuh ke ranjang, tepat di samping Ares. Berdekatan dengannya dalam jarak sedekat ini membuat jantungku berdebar hebat, Ares membawa tubuhku dalam dekapannya. Cahaya sinar yang temaram lewat lampu tidur di dalam kamar ini semakin membuatku menyadari dia memang tampan, sekilas mirip pada laki-laki misterius di pemakaman tadi. Apa mungkin?
"Ares?" Panggilku membuatnya kembali membuka mata. Laki-laki itu mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi, menanti apa yang akan ku katakan.
"Apa ada suatu hal yang tidak ku ketahui?" Aku menggigit bibir bawahku cemas. Maukah Ares menjawabnya?
"Maaf ya, karenaku kamu jadi takut." Ooh my, suara Ares begitu lembut. Dia menyelipkan beberapa helaian rambutku ke belakang telinga, membuatnya puas menatapi wajahku tanpa terhalang rambut yang menutupi.
"Ares, jawab saja pertanyaanku."
"Apa yang ada di pikiranmu saat ini?" Kedua alisku bertautan, sejujurnya aku tidak sedang memikirkan apapun tentangnya. Aku hanya ingin dia menjawab pertanyaanku.
"Apa maksud Rai mengatakan tentang sifat pengecutmu? Mengapa kamu menghajar laki-laki misterius itu? Siapa pusara yang kita kunjungi tadi? Kenapa Om Rendy sampai menamparmu? Kenapa..."
"Hussstt.." Ares meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibirku. Dia tersenyum, sorot matanya begitu menyejukkan.
"Kepalaku pusing. Aku janji besok akan menceritakannya, boleh aku tidur sekarang?"
"Baiklah." Ares mematikan lampu tidur di atas meja kecil di samping ranjang. Suasana kamar yang gelap membuatku sulit memejamkan mata. Aku gugup berada sedekat ini dengannya meski nyaman berada dalam pelukannya.
"Ayo tidur, kamu memikirkan apalagi?" Ares mengeratkan rengkuhannya di pinggangku. Kepalaku menggeleng pelan. Suhu tubuh Ares yang masih menghangat membuatku balik memeluk tubuhnya. Sekilas ku lihat dia mengulas senyum, senyumannya membuatku melayang sampai mataku terpejam dan mimpi indah menarikku ke dalamnya.
***
"Pagi." Sayup-sayup ku dengar suara serak menyapa di telinga. Aku mengerjapkan mata berkali-kali hingga akhirnya terbuka sempurna, ku tolehkan kepala ke samping kanan tepat dimana suara itu berasal. Pemandangan pertama yang ku dapati adalah wajah tampannya dengan rambut tebal hitamnya yang berantakan khas orang bangun tidur, anyway aku ada dimana?
"Pagi, Almyra." Dia kembali menyapa, Oh aku ingat saat ini aku berada di kamar Ares.
Kamar Ares?!!
Refleks aku segera menjauhkan diri dari tangan kokohnya yang masih memeluk tubuhku. Gerakan yang begitu cepat ini sedikit membuat kepalaku pusing, Ares yang melihat kembali membawaku berbaring di ranjang tepat di samping dirinya.
"Apa kamu gila? Semalam kita tidur bersama." Aku memekik setelah kesadaranku akan jiwa yang ingin kembali terlelap sepenuhnya sadar dan ingat apa yang telah terjadi tadi malam. Bahkan dress merah yang begitu feminim ini masih melekat indah di tubuhku.
![](https://img.wattpad.com/cover/51176323-288-k646982.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Simplicity of Love
RomanceAlmyra Syavana Alcatara pikir seorang Ares Efraim adalah orang yang mudah berbaur seperti teman-teman masa kecilnya yang lain tetapi ternyata pemikirannya itu salah persepsi. Ares memang sangat dekat dengan kedua orang tua Almyra, bahkan laki-laki i...