Tak membutuhkan waktu yang lama bagiku untuk menuju di tempat dimana gadis itu berada walau aku menggunakan kursi roda sekalipun. Dan sekarang, hanya beberapa langkah jarak antara kami. Namun entah mengapa aku ragu untuk menyapanya, hingga secara mengejutkan, Gadis itu menyapaku terlebih dulu.
“Hai! Mau bergabung dengan kami?” Sapanya sambil tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Ah, dan mata itu, berbinar dengan indahnya
“Ah, bolehkah?” Kataku, berusaha seramah mungkin.
Dengan sedikit ragu, aku berjalan mendekat untuk bergabung dengan mereka. Aku sedikit malu.
“Sudah, tak usah malu-malu. Kemarilah. Kami sedang bermain permainan yang asik sekali! Benarkan adik-adik?”
Sontak, semua anak kecil disitu menganggukkan kepalanya dengan mantap.
Dan akhirnya akupun bergabung dalam gerombolan kecil tersebut. Ternyata mereka sedang bernyanyi bersama. Semua anak bernyanyi sambil menepukkan tangannya. Mereka tertawa, senyum yang merekah pada bibir mereka seolah tak akan pudar. Semua raut wajah di sini terlihat bahagia, tak ada satupun yang sedih, tak terkecuali aku. Suasana yang sangat menyenangkan. Aku terus tersenyum, merasa kagum dengan gadis ini. Dia bisa membuat semua anak kecil di sini –atau lebih tepatnya, semua orang yang berada di dekatnya gembira dan melupakan sementara penyakit mereka, saat bermain dengannya.
“Anak-anak.. sudah waktunya kalian minum obat dan istirahat ya. Kalian mau sembuh ‘kan?” seorang suster yang rupaya perawat dari anak-anak ini tiba-tiba datang dan menyuruh mereka untuk istirahat. Akhirnya dengan berat hati, mereka meninggalkanku dan gadis ini setelah mereka menyuruh si gadis berjanji agar besok mau menemani mereka bermain lagi, seperti hari ini. Hebat, rupanya gadis ini telah berhasil mengambil hati anak-anak tersebut.
Setelah anak-anak tadi pergi, suasana menjadi hening. Tapi untunglah suasana ini tidak berlangsung lama saat si gadis mulai membuka pembicaraan,
“Hey, sejak tadi kita bermain bersama, kita belum memperkenalkan diri. Kenalkan, aku Hera.” Katanya sambil menjulurkan tangannya.
“Ah, iya ya. Sampai lupa. Aku Willy.” Kataku sambil tertawa kecil dan menjabat tangannya, berusaha membuat percakapan ini se-rileks mungkin.
Hera memang gadis yang asik. Dan seperti yang kukatakan tadi, dia gadis yang periang, sangat periang. Dia bisa membangkitkan suasana yang tadinya canggung menjadi cair seperti ini. Tak jarang kami tertawa, bahkan sampai terpingkal pingkal hanya karena Hera yang dengan senang hatinya membagikan beberapa leluconnya padaku. Sungguh, suasana ini membuatku nyaman, sangat nyaman. Rasanya aku dapat melupakan sejenak semua kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpaku. Aku ingin semua suasana menjadi se-cair ini, se-gembira ini, juga se-lepas ini. Dan aku sadar, suasana ini hanya dapat terjadi jika ada Hera di sini. Hingga tiba-tiba Hera bertanya,
“Um, Willy. Apa yang sebenarnya terjadi padamu hingga kau bisa dirawat di sini?”
Mendengar pertanyaannya, aku kembali teringat kejadian yang akhir-akhir ini menimpaku, yang berhasil membingungkanku. Aku merasa aku adalah orang termalang di dunia karena mendapat musibah seperti ini.
Dengan tersenyum kecil, aku menjawab, “Entahlah, aku tak dapat mengingatnya dengan jelas. Namun, kata suster aku adalah korban tabrak lari. Dan kau tahu? Kakiku patah karenanya. Ah, Sial sekali aku hari itu!” Aku menjawab dengan nada yang terkesan kesal.
“Oh, maaf.” katanya cepat-cepat setelah mendengar jawaban dariku. Ya, dia merasa bersalah.
“Ah, tak apa. Omong-omong apa yang telah terjadi padamu? Sudah berapa lama kau di sini?” tanyaku, mencoba mnencairkan suasana.
Hera tersenyum kecil sebelum menjawab pertanyaanku. Dan tak lama kemudian, dia menjawab, “Aku.. terkena kanker darah.” Dia berhenti sejenak, lalu kembali melanjutkan, “Aku sudah tinggal di rumah sakit ini sejak umurku 10 tahun. Ah, belum lama, baru enam tahun yang lalu.” matanya menerawang, bisa kurasakan kesedihan terpancar samar dari matanya.
Oh, apa yang telah kulakukan?
“Hera, maafkan aku. Aku tak bermaksud....”
“Tak apa, Willy. Mungkin memang inilah yang ditakdirkan Tuhan padaku dan aku yakin ini adalah yang terbaik untukku.”
Tuhan, dia gadis paling tegar yang pernah kutemui. Tak ada sedikitpun kalimat yang bernada menyesali apa yang telah Tuhan takdirkan untuknya. Berbeda sekali denganku tadi. Padahal penyakitnya jauh lebih parah daripada aku. Dan bayangakan, dia sudah tinggal di rumah sakit ini selama enam tahun! Aku sendiri tak dapat membayangkannya.
“Kau.. Tinggal sendiri di rumah sakit ini?” Aku kembali bertanya, mencoba memilih kata yang paling tepat agar Hera tidak sedih.
“Ya, Ayah dan Ibuku telah meninggal dunia. Dan keluargaku yang lain, entah kemana. Sudah lama sekali sejak jengukan terakhir yang kuterima dari mereka.” kini Hera menundukkan wajahnya.
“Hera, bersabarlah. Aku tau kau gadis yang tegar.”
Aku tersenyum kecil menatapnya. Dia pun melakukan hal yang sama.
Tuhan, aku ingin membuatnya ceria kembali, seperti yang ia telah lakukan padaku tadi. Ah, ya. aku tahu!
“Hey, Hera. Ada benda di dunia ini yang kau sukai? Seperti boneka, atau apalah.”
Tiba-tiba ada keinginan untuk menanyakan benda favoritnya. Ya, aku ingin memberinya hadiah. Entah kenapa tiba-tiba hatiku terdorong untuk memberinya sesuatu.
“Benda? Um, Ya. Aku sangat suka boneka. Boneka kelinci putih. Dari dulu aku mendambakan boneka kelinci putih.” jawab Hera dengan semangat. Matanya berbinar saat membicarakan boneka, benda favoritnya.
Aku tersenyum. Dalam hati aku berjanji akan membelikan boneka favoritnya itu, boneka kelinci putih
“Hera, waktunya istirahat.” terlihat seorang suster mengampiri Hera.
“Willy, maaf aku harus pergi. Sudah waktunya aku untuk minum obat dan istirahat.” Hera berpamitan denganku, dengan senyum yang tetap merekah di bibirnya.
“Baiklah.” Kataku. “Ah, Hera. Besok, apa masih boleh aku bergabung dengan grup bermainmu itu?” aku bernyata padanya dengan nada gurauan.
“Ah, Willy. Kau lucu. Tentu, kenapa tidak?” Hera menjawab pertanyaanku sambil mengerlingkan matanya. Lalu dia tersenyum ke arahku, senyuman terindah yang pernah kulihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad, Beautiful, tragic love
Conto'We had a sad beautiful magic love there. What a sad beautiful tragic love affair'