Hari-hari kulewati dengan menunggu kabar dari Hera. Sehari, Dua hari, Tiga hari, kulewati tanpa ada kabar dari Hera. Aku mulai cemas, apa yang sebenarnya terjadi? Aku juga penasaran, apa bonekaku sudah diterimanya? Tapi aku tetap mencoba mengendalikan diriku untuk bersabar, bersabar, dan tetap bersabar. Sampai sore itu tiba juga...
Suster yang merawat Hera berlari menuju kamarku dengan mata sembab, dan nafas tak beraturan. Dia tak mengatakan apa-apa, hanya datang untuk memberiku sebuah kaset, kemudian pergi. Bingung dan penasaran dengan semua ini, kuputuskan untuk memutar kaset itu.
Hitam. Tampilan awal yang ditunjukkan video dalam kaset itu. Dan beberapa detik kemudian, wajah yang selma ini kurindukan, kucemaskan, wajah Hera memeunuhi layar. Aku sedikit kaget melihatnya, namun beberapa saat kemudian ekspresi kagetku berubah menjadi bahagia.
Kini layar itu terpenuhi dengan wajah ceria dan binar mata indah Hera yang selama ini kurindukan. Keduanya tetap sama seperti saat terakir aku melihatnya, hanya yang kini wajahnya bertambah pucat. Digenggamannya ada boneka kelinci yang kuberikan padanya.
“Hai willy!” sapanya. Tak sadar, bibirku tersenyum melihatnya.
“Willy, pertama- tama, terimakasih untuk boneka ini.” Katanya dengan ekspresi ceria sambil menunjukkan boneka kelinci putihnya.
“Kau tau? Aku sangat mendambakannya dari dulu. Maaf aku tak bisa mengatakannya secara langsung kepadamu. Karena... karena... karena kau pasti tahu jika kau menerima video ini, berarti sesuatu telah terjadi padaku.”
Sesuatu? Apa maksudnya? Dia berhenti sejenak, tersenyum kecil, lalu melanjutkan,
“Willy, terimakasih sekali karena kau sudah membuat hari-hari terakhirku di dunia ini menjadi hari-hari terindah dalam hidupku. Disampingmu, bersamamu, becanda denganmu, semuanya membuatku nyaman. Hingga denganmu, aku bisa melupakan sementara penyakitku ini.” dia tersenyum kecil sambil menunduk. Lalu melanjutkan, “Tapi kau tahu kan? Meski sekeras apapun aku mencoba melupakan penyakit ini, kenyataannya penyakit tetaplah penyakit. Mereka tak mungkin hilang. Dan, sebelum semua terlambat aku ingin mengatakan kalau aku... aku... aku suka kamu Willy! Aku mencintaimu!”
Apa? Hera menyukaiku? Mencintaiku? Aku tersentak kaget, juga bahagia.
“Willy.. Kau.. Kau adalah satu satunya orang yang berhasil membuatku selalu bermimpi indah setiap malam, membuatku merasakan kerinduan yang amat mendalam saat aku tak bersamamu, membuatku tersenyum hanya karena memikirkanmu,”
Hera berhenti sejenak, lalu melanjutkan
“Dan.. dari situlah Willy.. Aku.. Aku yakin aku sedang jatuh cinta, cintaku yang pertama. Tak pernah kurasakan ini sebelumnya. Ya, hanya bersamamu lah Willy, aku dapat merasakannya. Kau.. adalah cinta pertama.. juga terakhirku,”
Air mata jatuh dipipi bersih pucatnya. Ah, Hera. Kumohon, jangan menangis seperti itu.. Dan seolah mendengar pintaku, Hera mengahapus air mata yang jatuh di pipinya, dan aku tersenyum dibuatnya.
Hera menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum lebar, selebar mulutnya bisa. Aku tersenyum melihatnya, melihat Hera yang telah kembali ceria.
“Baiklah Willy.. ini adalah saatnya untuk berpamitan,” Hera tersenyum kecil dan kemudian melanjutkan, “Willy, aku.. aku akan selalu mencintaimu, aku tak akan pernah melupakanmu. Dan Willy.. aku harap kaupun tak pernah melupakanku, walau kini kenyataannya kita sudah terpisah. Terpisah jarak dan waktu.”
Hera mengakhiri video rekamannya dengan memeluk erat dan mencium boneka kelinci putih pemberianku padanya. Dan tak sadar, layar sudah kembali hitam dan mataku semerah saga. Ya, aku menagis. Menangis karena menyadari kalau kini Hera telah tiada. Namun, ada satu hal yang kini kuyakin: Memang, Hera telah pergi dari dunia. Tapi tidak dari hatiku. Selamanya, dia abadi di sana.
***
'We had a sad beautiful magic love there. What a sad beautiful tragic love affair’
Thank you.
Writer
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad, Beautiful, tragic love
Historia Corta'We had a sad beautiful magic love there. What a sad beautiful tragic love affair'