Bab 2. Setapak Jejak

12.8K 1K 57
                                    

Ketika sampai di dalam aula, aku mendengar Tiwi sedang serius berdiskusi dengan teman-teman yang membentuk lingkaran dengan kursi lipat. Aku, Giyanti dan Jira duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Tiwi. Sepupu Ara tersebut tersenyum ramah menyambut kedatanganku. Mereka tengah membahas soal bintang tamu yang hendak meramaikan acara nanti. Kata Tiwi, vokalis dari band yang akan mereka undang itu merupakan alumnus dari sekolah ini. Namanya Yoga. Aku tidak mengenal nama itu di angkatanku, mungkin dia adalah kakak kelas atau justru pindahan setelah aku tidak menempati sekolah ini dulu.

Rencananya acara akan diadakan dua hari berturut-turut selama akhir pekan di bulan Januari nanti, yang artinya kami masih memiliki beberapa minggu untuk persiapan. Hari Sabtu di sekolah dan Minggu di ballroom hotel RedMaroon.

Jira mendapatkan seksi konsumsi dan Giyanti yang akan menghubungi pihak hotel untuk pemesanan ruang ballroom. Sejenak Tiwi seperti bingung untuk menempatkan posisiku, secara aku memang bukan lulusan di sekolah ini. Namun, setelah berdiskusi, dia memintaku untuk menemaninya mengurus izin dan hal lain, termasuk melakukan negosiasi dengan manajer bintang tamu. Aku mengiakan permintaannya selama itu dapat menebus kebaikannya di masa lalu.

Begitu diskusi selesai, Tiwi langsung menghampiriku dan memelukku erat. "Adhis. Gue kangen banget!" serunya riang.

Aku menepuk punggungnya beberapa kali sebelum melepas pelukan. "Gimana kabar kamu? Selamat, ya, buat tunangannya. Aku gak nyangka kalau kamu beneran lama pacaran sama Andre, padahal dulu sering berantem."

Tiwi memutar bola matanya. "Nikahnya masih lama, kok. Dianya aja yang norak pengen tunangan dulu, biar gue gak selingkuh katanya. Padahal gue tahu, itu pasti rencana busuk si Ar—"

DEG!

Nama itu. Tiwi hampir menyebut namanya—yang mana ada kesepakatan tak tertulis di antara kami untuk tak pernah membicarakannya lagi. Rasanya sungguh menyesakkan.

"Sorry," kata Tiwi dengan tampang bersalah.

"Hei, kamu tahu kan, itu cuman masa lalu," sahutku dengan nada ringan. "Gak perlu ngerasa gak enak gitu, Wi. I'm ok."

Bohong. Aku tidak pernah baik-baik saja. Hidupku adalah keburukan yang konstan.

Tiwi menghela napas lega dan memelukku sekali lagi. Kami menceritakan hal-hal lain di luar dari kehidupan sepupunya. Terkadang terselip keinginan untuk menanyakan kabar lelaki itu kepada Tiwi, tetapi aku tahu, aku hanya akan membuat luka yang masih menganga di dalam diriku semakin berdarah.

"Lo gak apa-apa?" Giyanti datang setelah melihat kepergian Tiwi. Dia berbicara dengan suara sepelan mungkin agar hanya terdengar oleh kami berdua.

"Aku baik-baik aja, Gi."

Giyanti menatapku dan bergumam, "Lo dikit lagi juga bakal gak waras."

Aku langsung melotot ke arahnya. "Heh!"

"Ya, ya, ya ... kalau lo udah bisa melotot garang begitu, berarti gak ada yang perlu dipermasalahin."

Giyanti mengedikkan bahunya dan langsung merangkul bahuku. Kami menghabiskan sisa hari itu dengan teman-teman lama yang kebanyakan tidak kuingat namanya.

***

Aku menatap gang sempit yang berada di samping laboratorium bahasa. Tangan kananku menenteng kantong plastik yang berisi jaket merah yang sudah dicuci dan terlipat rapi, serta beberapa makanan ringan yang kubeli tadi malam di minimarket depan rumah.

Hanya beberapa langkah yang kubutuhkan untuk sampai di kantin belakang. Mataku menangkap gerombolan lelaki yang memakai seragam dan memegang rokok di tangan masing-masing. Mereka tengah bersandar di dinding gang. Aku memperhatikan seragam mereka yang jauh dari kesan rapi dengan alis mengernyit. Mereka gak takut kena skors, ya?

DETAK [Space of Heart]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang